Jangan Asem
( Oleh ; Atho’
R. M Sasmito )
BRAKKKK!!!
Pintu kamar dibanting dengan
kerasnya, Laras menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.
“Laras, buka puasa dulu Nduk.
Kamu pasti sudah lapar habis pulang dari kuliah,” pinta ibu Laras dengan lembut
dari luar pintu kamar.
“Hari ini sayurnya apa bu?!” tanya laras
dengan ketus dari dalam kamarnya.
“Ini ibu buatkan jangan asem Nduk,
setelah seharian panas, jangan asem pasti seger Nduk,” jawab ibu.
“Asem lagi, asem lagi. Dari dulu kok
asem terus sih bu. Asssem!!!” keluh Laras dengan kesal.
“Kenapa Nduk?”
“Dulu sebelum puasa, hampir setiap
hari mesti jangan asem. Sekarang bulan puasa, jatah makannya berkurang,
masih asem terus, nggak ada istimewanya!”
“Ojo ngono to Nduk, syukuri
apa yang sudah diberikan kepada kita. Masih banyak yang tidak seberuntung kita yang
masih diberikan rezeki untuk makan, meskipun yang dengan jangan asem,”
tutur ibu.
“Iya bu, tapi kok jangan asem
terus!”
“Meskipun jangan asem, ibu buatnya kan
ganti-ganti terus. Ada kacang, terong, godong telo, kangkung,”
“Iya bu, tapi tetap saja asem. Asem!!!”
Ibu hanya terdiam sedih. Setelah
beberapa saat berdiri di pintu kamar Laras, ia akhirnya memutuskan untuk
beristirahat karena capek setelah seharian bekerja.
“Ibu mau istirahat dulu Nduk,
capek seharian ngurusi ladang di belakang rumah kita. Nanti kalau mau
makan, semua sudah ada di meja, tadi juga ibu buatkan segelas susu hangat buat kamu,” kata ibu sambil
berlalu menuju kamarnya untuk istirahat.
Azan waktu salat isya telah
dikumandangkan. Laras tak beranjak dari kamarnya. Ibu Laras pergi tidur karena
kecapekan.
Setelah
tadarus diperdengarkan melalui toa yang ada di surau, Laras yang hanya
berdiam diri dan tiduran, mulai bangkit dan keluar dari kamarnya menuju meja
makan. Diam-diam dia memang sudah lapar. Walaupun sudah bosan karena hampir
setiap hari makan dengan sayur asem terus, kadang sayur asem terong, kacang,
daun ketela, sampai kembang turi menjadi isi sayur yang berkuah bening itu, mau
tak mau Laras terpaksa harus memakannya, karena adanya memang itu.
Laras membuka tudung berbentuk kotak
dan berwarna merah yang ada di atas meja makan. Ia mengambil piring yang sudah
disediakan oleh ibunya di samping sayur asem, ia mengisi piring itu dengan
satu, dua dan tiga entong nasi dari bakul, kemudian menuangkan sedikit
kuah sayur asem dan sedikit kacang panjang yang tampak segar-segar, ia
mengambil tiga iris tempe goreng dan melumatkan sambel terasi di atas
nasinya yang basah dengan kuah sayur asem.
Di
samping tempat ia meletakkan piringnya, ada segelas susu hangat yang asapnya
masih sedikit mengepul ketika ia membuka tutup gelas itu yang terbuat dari
plastik.
“Setiap
hari makan kok pake jangan asem terus, bagaimana otakku bisa
bersaing dengan teman-temanku di kampus, kalau nutrisiku saja tak pernah
tercukupi, bikin nyaliku tambah ciut gara-gara bau badanku malah mudah kecut
kayak jangan asem ini, dan sekecut kehidupan yang aku alami ini,” gerutu Laras
sambil memasukan sendok yang berisi campuran nasi, sambel terasi, tempe
dan jangan asem ke dalam mulutnya.
Tadarus
Al-quran kian terdengar sahut-sahutan dari masjid dan surau, Laras makan dengan
lahap di ruang tengah. Dari kamar ibunya, sudah terdengar suara dengkuran yang
melantunkan kerasnya perjuangan ibu sebagai orang tua tunggal Laras.
__--=*=--__
Laras
sudah menjadi mahasiswi semester tiga. Di antara orang-orang yang ada di desa
tempat Laras dan ibunya tinggal, hanya Laras dan satu orang yang mengenyam
pendidikan di bangku kuliah, yaitu putrinya kepala desa yang baru masuk
semester pertama juga di kampus tempat Laras menuntut ilmu.
Rumah
tempat tinggal Laras sangat sederhana, berlantaikan teraso warna kuning,
beberapa celah di antara tatanan itu sudah retak, dan pasir sering keluar dari celah itu karena diangkati oleh
semut-semut hitam kecil yang bersarang di bawah lantai. Dinding rumah dari
papan yang ditata secara horizontal, setengahnya di bagian bawah ada tembok
yang mulai rapuh.
Di
rumah itu hanya Laras dan Ibunya yang menempati, bapak Laras meninggal dunia
karena kecelakaan saat laras masih duduk di bangku kelas 4 SD, dan kakaknya
sudah bekerja di Surabaya sejak bapaknya meninggal.
Desa tempat tinggal Laras berada jauh
terpencil dari kota. Rumah-rumah penduduk terlindung hutan jati, rata-rata perekonomian penduduk
sama. Di antara semua yang tinggal di sana, Laraslah yang paling beruntung bisa
merasakan duduk di bangku kuliah.
Dengan
mengandalkan pensiun dari suaminya yang dan menggarap lahan di pekarangan
rumah, ibunya Laras berusaha keras agar Laras bisa kuliah, agar kelak bisa
mendapat kehidupan yang lebih layak dari kehidupannya sekarang. Tak
mengherankan jika lurah di desa itu termotivasi oleh ibu Laras untuk juga
menguliahkan putri bungsunya.
Dalam
seminggu, Laras harus empat kali bolak-balik, berangkat dan pulang dari rumah
sampai ke kampusnya, dan sekali jalan menempuh
jarak sejauh tiga puluh kilometer, keluar masuk hutan jati, melewati
jalan-jalan desa yang matoh dan belum makmur. Dengan sepeda bebek butut
peninggalan almarhum bapaknya, lebih dari satu jam baru tiba di kampusnya
dengan peluh dan bau badan yang bercampur aduk menjadi parfumnya.
__--=*=--__
#Lamma juga ya nggak ngirim ke media cetak
Suatu
sore Laras pulang lebih awal dari biasanya karena selesai ujian semester. Sesampainya
di rumah, ia memarkir bebek bututnya di samping rumah dan bergegas masuk kamar
untuk mengganti pakaian hitam putihnya, ia ingin pergi lagi untuk buka bersama
dengan teman-temannya di kota.
Setelah
berganti pakaian dan sedikit merias wajahnya, ia bergegas untuk segera
berangkat sebelum nantinya telat karena rumah temannya lumayan jauh.
Laras
keluar dari kamar dan mencari ibunya untuk pamit. Ia menuju ke belakang rumah
karena mendengar suara pompa air berderit, pasti ibunya sedang mencuci beras.
Sesampainya
di belakang ia mendapati ibunya ternyata memang sedang memompa air. Di samping
bawah sumur ada bak kecil yang berisikan air berwarna putih, di dalam bak ada bojog
berisikan beras yang digerojog air dari sumur pompa. Di samping bak ada
seikat kacang lanjaran dan beberapa asem.
“Asem
maneh!” batin Laras tersenyum sinis.
“Kok
sudah rapi, memangnya mau ke mana Nduk?” tanya ibu sambil mengaduk beras
di bojog.
“Laras
mau buka bareng teman-teman Laras di kota bu, laras berangkat dulu ya,” pamit
laras seraya berlalu hendak menuju bebek bututnya yang ada di samping rumah.
“Nggak
buka di rumah aja to Nduk?”
“Halah
bu, asem ae terus,” jawab laras seraya berlalu meninggalkan ibunya.
Laras menggenjot starter motornya, namun
mesinnya tidak bisa hidup. Aneh. Biasanya sekali pancal, sepedanya
langsung bisa diajak jalan. Laras menggenjot lagi starternya, tapi motornya
masih belum bisa hidup. Tiba-tiba perasaan Laras menjadi tidak enak. Laras
tetap menggenjot starternya, dan...
Breeeemmmm
Laras
meninggalkan halaman rumah. Takut terlambat, dengan cepat ia menggeber
bebek bututnya di atas jalan desa yang terbuat dari paving.
Belum
ada dua menit, Laras kembali ke rumah. Ia segera memarkir lagi si bebek di
samping rumah dan berlari menuju belakang.
Laras
berdiri mematung di samping sumur pompa.
Didapatinya
ibunya tergeletak di samping bawah sumur yang beralaskan mistar. Daster warna
cokelat yang dikenakannya basah kuyup, air leri warna putih yang
sebelumnya ada di ember sudah mengalir menuju pembuangan, warna putih itu
bercampur dengan warna merah berasal dari kepala ibu yang rambutnya terurai
mengikuti aliran air, beras yang tadi dicuci, berhamburan di bawah sumur,
beberapa juga mengotori wajah ibu.
Di
tangan kanan ibu menggenggam daging sapi yang masih segar, dibungkus plastik
bening ukuran satu kilogram, di tangan kirinya menggenggam sebungkus bumbu
rawon instan. Di mana asem dan kacang lanjaran yang tadi ada di samping
sumur???(arms)
#Dimuat di Jawa Pos Radar Bojonegoro,
Minggu 2 September 2012
No comments:
Post a Comment