WELCOME to the Dance Floor of bluePen - Let me be your ARmS to hug You with My ARtS

Pages

Tuesday, July 23, 2013

Jangan Asem

Jangan Asem
( Oleh ; Atho’ R. M Sasmito )


        BRAKKKK!!!
            Pintu kamar dibanting dengan kerasnya, Laras menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.
            “Laras, buka puasa dulu Nduk. Kamu pasti sudah lapar habis pulang dari kuliah,” pinta ibu Laras dengan lembut dari luar pintu kamar.
            “Hari ini sayurnya apa bu?!” tanya laras dengan ketus dari dalam kamarnya.
            “Ini ibu buatkan jangan asem Nduk, setelah seharian panas, jangan asem pasti seger Nduk,” jawab ibu.
            “Asem lagi, asem lagi. Dari dulu kok asem terus sih bu. Asssem!!!” keluh Laras dengan kesal.
            “Kenapa Nduk?”
            “Dulu sebelum puasa, hampir setiap hari mesti jangan asem. Sekarang bulan puasa, jatah makannya berkurang, masih asem terus, nggak ada istimewanya!”
            “Ojo ngono to Nduk, syukuri apa yang sudah diberikan kepada kita. Masih banyak yang tidak seberuntung kita yang masih diberikan rezeki untuk makan, meskipun yang dengan jangan asem,” tutur ibu.
            “Iya bu, tapi kok jangan asem terus!”
            “Meskipun jangan asem, ibu buatnya kan ganti-ganti terus. Ada kacang, terong, godong telo, kangkung,”
            “Iya bu, tapi tetap saja asem. Asem!!!”
            Ibu hanya terdiam sedih. Setelah beberapa saat berdiri di pintu kamar Laras, ia akhirnya memutuskan untuk beristirahat karena capek setelah seharian bekerja.
            “Ibu mau istirahat dulu Nduk, capek seharian ngurusi ladang di belakang rumah kita. Nanti kalau mau makan, semua sudah ada di meja, tadi juga ibu buatkan segelas  susu hangat buat kamu,” kata ibu sambil berlalu menuju kamarnya untuk istirahat.
            Azan waktu salat isya telah dikumandangkan. Laras tak beranjak dari kamarnya. Ibu Laras pergi tidur karena kecapekan.
Setelah tadarus diperdengarkan melalui toa yang ada di surau, Laras yang hanya berdiam diri dan tiduran, mulai bangkit dan keluar dari kamarnya menuju meja makan. Diam-diam dia memang sudah lapar. Walaupun sudah bosan karena hampir setiap hari makan dengan sayur asem terus, kadang sayur asem terong, kacang, daun ketela, sampai kembang turi menjadi isi sayur yang berkuah bening itu, mau tak mau Laras terpaksa harus memakannya, karena adanya memang itu.
            Laras membuka tudung berbentuk kotak dan berwarna merah yang ada di atas meja makan. Ia mengambil piring yang sudah disediakan oleh ibunya di samping sayur asem, ia mengisi piring itu dengan satu, dua dan tiga entong nasi dari bakul, kemudian menuangkan sedikit kuah sayur asem dan sedikit kacang panjang yang tampak segar-segar, ia mengambil tiga iris tempe goreng dan melumatkan sambel terasi di atas nasinya yang basah dengan kuah sayur asem.
Di samping tempat ia meletakkan piringnya, ada segelas susu hangat yang asapnya masih sedikit mengepul ketika ia membuka tutup gelas itu yang terbuat dari plastik.
“Setiap hari makan kok pake jangan asem terus, bagaimana otakku bisa bersaing dengan teman-temanku di kampus, kalau nutrisiku saja tak pernah tercukupi, bikin nyaliku tambah ciut gara-gara bau badanku malah mudah kecut kayak jangan asem ini, dan sekecut kehidupan yang aku alami ini,” gerutu Laras sambil memasukan sendok yang berisi campuran nasi, sambel terasi, tempe dan jangan asem ke dalam mulutnya.
Tadarus Al-quran kian terdengar sahut-sahutan dari masjid dan surau, Laras makan dengan lahap di ruang tengah. Dari kamar ibunya, sudah terdengar suara dengkuran yang melantunkan kerasnya perjuangan ibu sebagai orang tua tunggal Laras.
__--=*=--__
Laras sudah menjadi mahasiswi semester tiga. Di antara orang-orang yang ada di desa tempat Laras dan ibunya tinggal, hanya Laras dan satu orang yang mengenyam pendidikan di bangku kuliah, yaitu putrinya kepala desa yang baru masuk semester pertama juga di kampus tempat Laras menuntut ilmu.
Rumah tempat tinggal Laras sangat sederhana, berlantaikan teraso warna kuning, beberapa celah di antara tatanan itu sudah retak, dan pasir sering  keluar dari celah itu karena diangkati oleh semut-semut hitam kecil yang bersarang di bawah lantai. Dinding rumah dari papan yang ditata secara horizontal, setengahnya di bagian bawah ada tembok yang mulai rapuh.
Di rumah itu hanya Laras dan Ibunya yang menempati, bapak Laras meninggal dunia karena kecelakaan saat laras masih duduk di bangku kelas 4 SD, dan kakaknya sudah bekerja di Surabaya sejak bapaknya meninggal.
 Desa tempat tinggal Laras berada jauh terpencil dari kota. Rumah-rumah penduduk terlindung  hutan jati, rata-rata perekonomian penduduk sama. Di antara semua yang tinggal di sana, Laraslah yang paling beruntung bisa merasakan duduk di bangku kuliah.
Dengan mengandalkan pensiun dari suaminya yang dan menggarap lahan di pekarangan rumah, ibunya Laras berusaha keras agar Laras bisa kuliah, agar kelak bisa mendapat kehidupan yang lebih layak dari kehidupannya sekarang. Tak mengherankan jika lurah di desa itu termotivasi oleh ibu Laras untuk juga menguliahkan putri bungsunya.
Dalam seminggu, Laras harus empat kali bolak-balik, berangkat dan pulang dari rumah sampai ke kampusnya, dan sekali jalan menempuh  jarak sejauh tiga puluh kilometer, keluar masuk hutan jati, melewati jalan-jalan desa yang matoh dan belum makmur. Dengan sepeda bebek butut peninggalan almarhum bapaknya, lebih dari satu jam baru tiba di kampusnya dengan peluh dan bau badan yang bercampur aduk menjadi parfumnya.
__--=*=--__



#Lamma juga ya nggak ngirim ke media cetak

Suatu sore Laras pulang lebih awal dari biasanya karena selesai ujian semester. Sesampainya di rumah, ia memarkir bebek bututnya di samping rumah dan bergegas masuk kamar untuk mengganti pakaian hitam putihnya, ia ingin pergi lagi untuk buka bersama dengan teman-temannya di kota.
Setelah berganti pakaian dan sedikit merias wajahnya, ia bergegas untuk segera berangkat sebelum nantinya telat karena rumah temannya lumayan jauh.
Laras keluar dari kamar dan mencari ibunya untuk pamit. Ia menuju ke belakang rumah karena mendengar suara pompa air berderit, pasti ibunya sedang mencuci beras.
Sesampainya di belakang ia mendapati ibunya ternyata memang sedang memompa air. Di samping bawah sumur ada bak kecil yang berisikan air berwarna putih, di dalam bak ada bojog berisikan beras yang digerojog air dari sumur pompa. Di samping bak ada seikat kacang lanjaran dan beberapa asem.
“Asem maneh!” batin Laras tersenyum sinis.
“Kok sudah rapi, memangnya mau ke mana Nduk?” tanya ibu sambil mengaduk beras di bojog.
“Laras mau buka bareng teman-teman Laras di kota bu, laras berangkat dulu ya,” pamit laras seraya berlalu hendak menuju bebek bututnya yang ada di samping rumah.
“Nggak buka di rumah aja to Nduk?”
Halah bu, asem ae terus,” jawab laras seraya berlalu meninggalkan ibunya.
 Laras menggenjot starter motornya, namun mesinnya tidak bisa hidup. Aneh. Biasanya sekali pancal, sepedanya langsung bisa diajak jalan. Laras menggenjot lagi starternya, tapi motornya masih belum bisa hidup. Tiba-tiba perasaan Laras menjadi tidak enak. Laras tetap menggenjot starternya, dan...
Breeeemmmm
Laras meninggalkan halaman rumah. Takut terlambat, dengan cepat ia menggeber bebek bututnya di atas jalan desa yang terbuat dari paving.
Belum ada dua menit, Laras kembali ke rumah. Ia segera memarkir lagi si bebek di samping rumah dan berlari menuju belakang.
Laras berdiri mematung di samping sumur pompa.
Didapatinya ibunya tergeletak di samping bawah sumur yang beralaskan mistar. Daster warna cokelat yang dikenakannya basah kuyup, air leri warna putih yang sebelumnya ada di ember sudah mengalir menuju pembuangan, warna putih itu bercampur dengan warna merah berasal dari kepala ibu yang rambutnya terurai mengikuti aliran air, beras yang tadi dicuci, berhamburan di bawah sumur, beberapa juga mengotori wajah ibu.
Di tangan kanan ibu menggenggam daging sapi yang masih segar, dibungkus plastik bening ukuran satu kilogram, di tangan kirinya menggenggam sebungkus bumbu rawon instan. Di mana asem dan kacang lanjaran yang tadi ada di samping sumur???(arms)

bluePen, 4.31 am, 15 August 2012

#Dimuat di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Minggu 2 September 2012


No comments:

Post a Comment