Melihat dan Belajar dari Semangat
Gotong Royong di Desa Asal Batu Semar
Jika bertanya dari mana asal Batu
Semar yang sekarang berada di Alun-alun Kota Bojonegoro, jawaban pastinya
adalah dari Desa Sambongrejo, Kecamatan Gondang, Kabupaten Bojonegoro. Namun,
jauh dari batu itu dibongkar, ada sebuah dusun dari desa itu, yakni Dusun
Kenongorejo yang semangat menjujung kebersamaan untuk menjadikan lingkungan dan kehidupan
lebih baik lagi.
Oleh: Atho' R.M Sasmito
Jalan menuju Dusun Kenongorejo,
ada di pertengahan antara sepanjang jalan dari Balai Desa Sambongrejo hingga bekas bongkahan Batu Semar
yang ada di tepi jalan Dusun Sukun, desa setempat.
Lebih mudahnya, ada pertigaan di
tikungan sebelah Kantor Kepala Resort Pemangku Hutan di Dusun Sukun ada jalan
masuk ke hutan. Terus menelusuri jalan itu sekitar 7km akan sampai di Dusun
Kenongorejo. Badan jalan menuju dusun itu sudah terpaving. Ada juga badan jalan
berupa cor, khususnya pada tanjakan dan turunan. Namun cor yang ada di antara
rindangnya hutan jati itu kebanyakan sudah mengelupas, sehingga harus hati-hati
ketika melintas agar tidak selip karena pecahan cor dan kricak membuat jalan
menjadi sedikit licin.
Setelah melewati hutan jati, ada
hamparan lahan luas yang kebanyakan ditanami jagung. Sementara itu, di berbagai
arah mata angin tampak pegunungan-pegunungan yang mengitari Dusun Kenongorejo.
Jika dilihat dari atas, dusun itu tampak berada di antara ceruk pegunungan.
Jalan menuju Dusun Kenongorejo yang terbuat dari cor mengelupas. |
Pagi itu adalah hari Sabtu sekitar pukul 06.00 WIB. Tampak para warga, yakni bapak-bapak dan para pemuda berbondong-bondong menuju sendang atau sumber mata air, yang ada di pinggir jalan masuk ke Dusun Kenongorejo.
Dengan mengendarai sepeda motor
yang rata-rata memakai knalpot brong dan ban bergerigi untuk daerah pegunungan,
mereka ada yang membawa parang, sabit, pacul dan linggis. Selain itu, ada yang
berboncengan membawa ceret berisi kopi dan keranjang berisikan nasi.
Setelah semua warga berkumpul,
sekitar pukul 06.30 WIB tanpa ada komando, puluhan warga langsung turun tangan.
Mereka dengan inisiatif masing-masing ada yang turun ke kali atau saluran air
dari sendang dang mengambil batu-batu besar yang menghambat aliran air.
Batu-batu itu diserahkan ke warga
yang lain, kemudian diletakkan di jalan. Warga yang lain ada yang memecah batu
dan meratakan di tengah jalan. Ada pula warga yang mencangkul dan membersihkan
semak, serta rumput di pinggir jalan.
Sekitar pukul 07.00 WIB, Kepala
Desa Sambongrejo beserta perangkat desa tiba di Dusun Kenongorejo. Mereka
langsung berbaur dengan warga untuk menata jalan agar menjadi lebih mudah dan
nyaman ketika dilewati.
Setelah kali atau saluran air dan
jalan selesai dibenahi, warga istirahat sejenak untuk sarapan bersama-sama.
Keranjang yang berisikan nasi mulai dibuka dan mengepulkan asap, pertanda masih
hangat. Warga bergantian mulai mengambil kertas minyak atau daun pisang untuk
tempat nasi. Meskipun dengan menu sederhana, yakni nasi, mie, sambal, lalapan
dan lauk tempe serta telor dadar, mereka begitu menikmati sarapan tersebut. Ditambah lagi dengan
minum kopi dan menghisap rokok, suasana sarapan pagi itu tampak menjadi lebih
nikmat.
Warga bersiap menikmati sarapan bersama. |
Meskipun dengan menu sederhana, warga sangat menikmati sarapan bersama di sela kerja bakti. |
Usai sarapan, warga menuju
sendang yang tak jauh dari jalan itu. Mereka mulai membersihkan tanaman-tanaman
liar yang ada di sekitar sendang.
Sumber air atau sendang itu bisa
warga menyebutnya dengan Sendang Lanang. Air dari sendang itu, biasa dipakai
warga untuk pengairan sawah, bahkan juga untuk keperluan sehari-hari seperti
masak, mandi, mencuci dan untuk minum. Di sendang itu, warga juga membenahi
saluran pipa hasil swadaya masyarakat sendiri yang dipakai untuk mengalirkan
air sampai di rumah-rumah warga.
Semangat kebersamaan untuk
menjadikan lingkungan lebih baik lagi dan nyaman, terus berlanjut hingga waktu
menjelang siang. Kepala Desa Sambongrejo, Eko Prasetiyono mengatakan, warga di
desa yang dipimpinnya, khususnya Dusun Kenongorejo, selalu semangat untuk
menjaga kebersamaan, dalam hal ini adalah gotong royong.
"Kemarin kami minta Pak RW
untuk mendatangi masing-masing rumah dan mengabarkan kegiatan kerja bakti.
Rencananya pukul 07.00 WIB dimulai, tapi ketika kami tiba, ternyata mereka
sudah lebih dulu turun tangan dan gotong royong," ujar Eko.
Ditambahkan, semangat dari
warganya untuk gotong royong terus bertahan. Setiap rumah yang dikunjungi untuk
memberikan pengumuman adanya kerja bakti, setiap warga yang tidak bisa ikut
pasti akan meminta ijin. Dan sebaliknya, jika mereka mengatakan bisa ikut, pasti
akan hadir sebelum waktu yang dijadwalkan.
Semangat gotong groyong warga,
tidak hanya sebatas dalam kegiatan kerja bakti saja. Lebih dari itu, mereka
terus berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup di dusunnya. Salah satunya
adalah pembangunan tempat ibadah, yakni masjid dan musala.
Masjid yang berada di tengah dusun, awalnya adalah musala yang kemudian dijadikan masjid dengan swadaya | . |
Ketua RT 9, Sugiyo mengatakan,
awal berdirinya tempat ibadah di Dusun Kenongorejo berasal dari swadaya
masyarakat sendiri.
"Dulu sebelum ada masjid,
kalau Salat Ied dan Salat Jumat harus keluar dari dusun ini. Seiring
berjalannya waktu, ada musala yang sementara dipakai untuk salat Jumat.
Kemudian musala itu direhab menjadi masjid pada tahun 2008. Selain itu, musala
yang ada di samping sekolahan juga murni swadaya dari masyarakat sendiri,"
papar Sugiyo.
Selain masjid dan musala, ada
lagi yang membutuhkan pengorbanan lebih besar lagi dari warga Kenonongorejo,
yakni keberadaan listrik yang sekarang sudah mengalir di setiap rumah. Sebagai
pendatang dari desa tetangga, Sugiyo masuk di Dusun Kenongorejo pada tahun 1993
ikut merasakan betapa besarnya perjuangan masyarakat untuk mendapatkan
penerangan di malam hari.
"Kalau malam di sini gelap.
Dulu untuk penerangan malam hari, warga swadaya membeli bahan bakar untuk
diesel sebagai sumber listrik," imbuhnya.
Waktu terus berjalan dengan malam
dengan penerangan dari tenaga diesel yang tidak sampai tengah malam, warga
akhirnya sepakat untuk menyalur listrik dari Dusun Kadung, Desa Sambongrejo.
Listrik yang disalurkan itu,
kemudian dibagi bisa untuk 10 rumah. Masalah di belakang yang muncul adalah
pembagian biaya listrik setiap bulan. Daya yang dipakai masing-masing rumah
berbeda, mereka harus saling sadar dan pengertian untuk membayarnya. Biaya yang
dikeluarkan setiap rumah pun juga tergolong mahal dari tarif normal. Rata-rata
hanya dipakai untuk lampu dan televisi saja warga harus membayar sekitar
Rp.60.000 setiap bulannya.
"Selama 7 tahun kami
menyalur dengan biaya mahal dan pengaturan yang ruwet. Tapi Alhamdulillah sejak
2 tahun lalu dusun kami sudah teraliri listrik secara legal, dengan sistem
prabayar atau pulsa," tandasnya.
Pagi hari, kabut tampak bagaikan ombak yang menerjang batu karang. Tampak kabut menyelimuti pegunungan-pegunungan yang mengelilingi Dusun Kenongorejo. |
Lanskap rumah-rumah penduduk yang ada di Dusun Kenongorejo pada pagi hari. |
Semangat dari warga Kenongorejo
Desa Sambongrejo yang terus berjuang bersama-sama untuk menciptakan lingkungan
yang lebih baik lagi, bisa dijadikan inspirasi untuk desa-desa yang lain.
Meskipun hidup di tengah keterbatasan dan jauh dari fasilitas dan akses susah
dijangkau, namun dengan semangat gotong royong dan kebersamaan akan mampu
menjadikan kehidupan yang lebih baik lagi. [arms]