Aku, Mereka dan Hari Bahagia
(Oleh: Atho' R.M Sasmito)
Jalan besar itu
terkenal paling sepi di kotaku. Meskipun jalan itu lebar, namun a\spal selalu
mulus jarang ada perawatan dengan penambalan ataupun pelebaran. Sepanjang jalan
itu selalu sepi setiap harinya, adapun kendaraan yang lewat hanya ada satu atau
dua, itu pun dalam jangka waktu yang lama.
Rumah-rumah
yang ada di tepi sepanjang jalan itu rata-rata berlantaikan dua megah, dengan
pagar menjulang dilengkapi kawat berduri di atasnya. Komplek rumah-rumah itu
menjadi kawasan elite di kota kecil tempatku tinggal.
Hampir
setiap hari aku melewati rumah-rumah megah itu dengan mengayuh becakku di jalur
tengah jalan. Setiap kali aku melintas, selalu ku perhatikan deretan
rumah-rumah di sana. Meskipun megah dengan taman yang rapi dan bersih, namun di
sepanjang jalan itu di masing-masing rumah tak kujumpai seorang pun. Seperti
tak ada kehidupan, sepi dan sunyi.
Setiap
kali aku melintas, selalu berfikir aku pasti akan lebih kaya dari mereka
seandainya setiap hari satu rumah aku satroni. Pasti dengan barang yang ada di
luar rumah saja jika aku kumpulkan dan aku jual, hasilnya pasti bisa membangun
rumah seperti mereka.
Setiap
kali aku berpikir seperti itu, aku teringat kembali dengan istri dan 4 anakku
yang masih kecil. Walaupun aku hanya mampu mencari nafkah dengan mengayuh becak
setiap hari, dengan sandal dari ban bekas, celana jeans warna memudar, kaos
partai politik berbeda setiap harinya dan topi usang menutupi kepala, namun aku
mampu menciptakan kebahagiaan apapun untuk diriku sendiri. Waktu berkumpul
bersama anak-anak dan istriku adalah harta yang paling besar dan tak ternilai
yang aku miliki. Aku sadar, bahagia itu sederhana.
Terlepas
dari itu semua, jalan lebar dengan aspal mulus dan sepi tenyata ada satu masa
saat jalan itu penuh sesak. Bukan penuh dengan lalu lalang kendaraan, namun
penuh sesak dengan kumpulan orang-orang sepertiku dan juga para gembel, serta ibu-ibu
yang berdesak-desakan tak peduli anak yang mereka gendong menangis terjepit,
jatuh bahkan terinjak. Seperti yang terjadi juga tahun ini.
Ternyata,
para pemilik rumah-rumah mewah yang sepi itu membentuk sebuah komunitas kaum
elite. Setiap tahun, beberapa hari menjelang hari raya, mereka dalam komunitas
kaum elite membuat kaum alit (kecil/rakyat biasa) jadi sebuah hiburan
tersendiri hingga mereka bisa tertawa terbahak-bahak menyaksikan pertunjukan
dari kaum alit.
Komunitas
kaum elite tersebut mengumpulkan tak ada dari sebagian harta mereka untuk
dibagikan kepada kaum alit. Dari sebanyak 26 rumah megah yang ada di sepanjang
jalan lebar itu, terkumpul entah berapa angka nol di belakang angka 9. Dari
dana yang terkumpul mereka belikan mie instan beras dan minyak goreng kemasan,
yang lebih mengherankan kenapa juga ditambah dengan telur.
"Ayo
Kang cepetan, entar nggak kebagian," teriak Kang Samin dengan semangat
mengayuh becaknya yang berderit mendahuluiku.
"Iya
Kang, tapi mungkin sampai malam juga nggak habis-habis Kang," balasku
tersenyum melihat semangatnya menggebu.
"Terserah
kamu Kang, kabarnya tahun ini ada tambahan amplopnya juga di dalamnya, luamayan
buat tambahan apalagi kalau dapat lebih," teriaknya sembari lebih semangat
lagi mengayuh becaknya.
Di
belakang Kang Samin, rombongan pengayuh becak mulai memenuhi jalan aspal yang
lebar. Mereka menuju ke kerumunan orang-orang yang sudah berdesak-desakan
menuju panggung yang didirikan di tengah-tengah jalan kawasan rumah-rumah
mewah.
Aku hanya
tersenyum mengikuti apa yang mereka lakukan. Segera kutepikan becakku dan aku
gembok rantai dengan jari-jari roda belakang becakku. Aku bergegas menyusul
kerumunan orang-orang yang berdesak-desakan dengan tangan kanan menjulur ke
depan dan tangan kiri di depan dada, mencoba menyisir dalam kerumunan.
Aku berada
ditengah-tengah kaum alit. Lebih dari dua jam belum juga aku bisa mencapai
panggung yang ada di tengah. Matahari tepat berada di atas kepala kaum alit.
Dari ujung jalan yang ada di belakangku hingga ujung jalan yang ada jauh di
depanku penuh dengan kepala-kepala kaum alit. Kepala dengan tangan tengadah
dari dua arah terus begerak menuju panggung yang ada di tengah. Di atas
panggung itu, kumpulan orang-orang elite tertawa terbahak-bahak.
Mereka
puas menyaksikan pertunjukan dari kaum alit yang berebut paket bingiksan
sembako berupa 3 kg beras, 4 bungkus mie instant, 1 liter minyak goreng
kemasan, 4 butir telur, kabarnya juga ada tambahan amplop di dalamnya yang
berisi 20 ribu rupiah.
Di dalam
kerumunan kaum alit, ternyata mereka yang sudah mendapat jatah masih banyak
yang tetap ikut berdesak-desakan mengambil tambahan. Petugas keamaan dari
Polres, Satpol PP hingga Hansip seakan hanya sebagai pemanis belaka.
Sudah menjadi
rahasia umum, bahwa mereka dari komunitas kaum elite telah membayar petugas
keamanan, tapi bukan untuk mengamankan, melainkan membiarkan agar tetap lancar
terselenggaranya hiburan dari kaum alit. Selain itu, mereka juga sudah
memberikan beberapa juga untuk pantia-panitia zakat, agar tetap aman statusnya
menyelenggarakan hiburan yang hanya ada satu tahun sekali, di bulan yang
seharusnya orang lebih banyak puasa dalam berbagai hal.
Bisa jadi
satu hari di bulan puasa, menjadi hari bahagia kaum alit dan elite. Bahagianya
kaum alit karena mendapatkan paket sembako plus uang, sedangkan kaum elite
bahagia melihat pertunjukan seru dari kaum alit.
"Loh
Kang, kamu juga ikut?" tanya adik iparku yang tinggal sekitar 45 km dari
kota.
"Setiap
tahun kan aku ikut. Lha kamu kenapa sampai jauh-jauh ikut juga?" tanyaku
heran, masih tetap mempertahankan posisi dalam desak-desakan kaum alit.
"Selama
satu minggu ini aku mendengar di radio adanya pembagian ini, makanya sejak
habis subuh tadi aku langsung berangkat," ucapnya terdengar samar-samar
ditelan kerumunan yang semakin sesak. Ia pun juga menghilang di antara kaum
alit.
Aku mulai
berpikir, memang hebat para kaum alit untuk membuat kebahagiaan mereka. Tapi
tak mengapa, aku juga bahagia. Bahagiaku sederhana. Mendapatkan bingkisan dalam
pembagian yang dipenuhi lautan manusia itu merupakan sebuah prestise tersendiri
buatku. Aku pun kembali bersemangat berusaha membelah himpitan orang-orang yang
ada di depanku.
Kaum alit
yang berkumpul seakan tidak ada habisnya, justru semakin banyak dan sesak.
Ibu-ibu banyak yang terjepit dan pingsan, anak-anak kecil menangis mencari
ibunya, beberapa bahkan terinjak-injak, para pengayuh becak sepertiku juga
berjuang sekuat tenaga, ada juga yang memanfaatkan kakinya yang kuat untuk
mendorong orang-orang di depannya. Panggung sudah semakin dekat.
"Plok!!!"
Tiba-tiba
sesuatu mendarat di atas kepalaku. Bau busuk menyengat diiringi dengan lendir
putih bercampur kuning kecoklatan menetes dari atas kepalaku, turun melewati
depan mataku dan turun di atas bibir jatuh ke kaosku yang berwana putih.
Ku
layangkan pandanganku ke atas panggung. Di sana kaum elite tertawa
terbahak-bahak dengan peti-peti telur disampingnya. Mereka mengambil
telur-telur busuk dari dalam peti dan melemparkannya ke bawah, yakni para kaum
alit yang berebut paket sembako yang diberikan oleh panitia dari dalam pagar
besi.
Suasana
panas matahari di atas kepala, kerumunan kaum alit, ditambah aroma busuk
membuat kepalaku menjadi pusing, pandanganku pun mulai kabur.
"Tuhan!
Turunkanlah hujan yang deras untuk kami kaum alit dan lemparkanlah halilintar
ke arah panggung yang diduduki kaum elite," ucapku geram memegangi
kepalaku yang terasa semakin berat.
BUGGG!!!
(bluePen,
2213_61704102)
*) Penulis
Novel Sheraiser Bojonegoro
#Muat di
www.blokBojonegoro.com Minggu, 20 Juli 2014, 08.00 WIB
http://blokbojonegoro.com/read/article/20140720/aku-mereka-dan-sebuah-hari-bahagia.html
#Ayo kirimkan Karyamu ke; blokbojonegoro@gmail.com