WELCOME to the Dance Floor of bluePen - Let me be your ARmS to hug You with My ARtS

Pages

Sunday, July 20, 2014

Aku, Mereka dan Hari Bahagia
(Oleh: Atho' R.M Sasmito)


Aku, Mereka dan Sebuah Hari Bahagia
Jalan besar itu terkenal paling sepi di kotaku. Meskipun jalan itu lebar, namun a\spal selalu mulus jarang ada perawatan dengan penambalan ataupun pelebaran. Sepanjang jalan itu selalu sepi setiap harinya, adapun kendaraan yang lewat hanya ada satu atau dua, itu pun dalam jangka waktu yang lama.

Rumah-rumah yang ada di tepi sepanjang jalan itu rata-rata berlantaikan dua megah, dengan pagar menjulang dilengkapi kawat berduri di atasnya. Komplek rumah-rumah itu menjadi kawasan elite di kota kecil tempatku tinggal.

Hampir setiap hari aku melewati rumah-rumah megah itu dengan mengayuh becakku di jalur tengah jalan. Setiap kali aku melintas, selalu ku perhatikan deretan rumah-rumah di sana. Meskipun megah dengan taman yang rapi dan bersih, namun di sepanjang jalan itu di masing-masing rumah tak kujumpai seorang pun. Seperti tak ada kehidupan, sepi dan sunyi.

Setiap kali aku melintas, selalu berfikir aku pasti akan lebih kaya dari mereka seandainya setiap hari satu rumah aku satroni. Pasti dengan barang yang ada di luar rumah saja jika aku kumpulkan dan aku jual, hasilnya pasti bisa membangun rumah seperti mereka.

Setiap kali aku berpikir seperti itu, aku teringat kembali dengan istri dan 4 anakku yang masih kecil. Walaupun aku hanya mampu mencari nafkah dengan mengayuh becak setiap hari, dengan sandal dari ban bekas, celana jeans warna memudar, kaos partai politik berbeda setiap harinya dan topi usang menutupi kepala, namun aku mampu menciptakan kebahagiaan apapun untuk diriku sendiri. Waktu berkumpul bersama anak-anak dan istriku adalah harta yang paling besar dan tak ternilai yang aku miliki. Aku sadar, bahagia itu sederhana.

Terlepas dari itu semua, jalan lebar dengan aspal mulus dan sepi tenyata ada satu masa saat jalan itu penuh sesak. Bukan penuh dengan lalu lalang kendaraan, namun penuh sesak dengan kumpulan orang-orang sepertiku dan juga para gembel, serta ibu-ibu yang berdesak-desakan tak peduli anak yang mereka gendong menangis terjepit, jatuh bahkan terinjak. Seperti yang terjadi juga tahun ini.

Ternyata, para pemilik rumah-rumah mewah yang sepi itu membentuk sebuah komunitas kaum elite. Setiap tahun, beberapa hari menjelang hari raya, mereka dalam komunitas kaum elite membuat kaum alit (kecil/rakyat biasa) jadi sebuah hiburan tersendiri hingga mereka bisa tertawa terbahak-bahak menyaksikan pertunjukan dari kaum alit.

Komunitas kaum elite tersebut mengumpulkan tak ada dari sebagian harta mereka untuk dibagikan kepada kaum alit. Dari sebanyak 26 rumah megah yang ada di sepanjang jalan lebar itu, terkumpul entah berapa angka nol di belakang angka 9. Dari dana yang terkumpul mereka belikan mie instan beras dan minyak goreng kemasan, yang lebih mengherankan kenapa juga ditambah dengan telur.

"Ayo Kang cepetan, entar nggak kebagian," teriak Kang Samin dengan semangat mengayuh becaknya yang berderit mendahuluiku.

"Iya Kang, tapi mungkin sampai malam juga nggak habis-habis Kang," balasku tersenyum melihat semangatnya menggebu.

"Terserah kamu Kang, kabarnya tahun ini ada tambahan amplopnya juga di dalamnya, luamayan buat tambahan apalagi kalau dapat lebih," teriaknya sembari lebih semangat lagi mengayuh becaknya.

Di belakang Kang Samin, rombongan pengayuh becak mulai memenuhi jalan aspal yang lebar. Mereka menuju ke kerumunan orang-orang yang sudah berdesak-desakan menuju panggung yang didirikan di tengah-tengah jalan kawasan rumah-rumah mewah.

Aku hanya tersenyum mengikuti apa yang mereka lakukan. Segera kutepikan becakku dan aku gembok rantai dengan jari-jari roda belakang becakku. Aku bergegas menyusul kerumunan orang-orang yang berdesak-desakan dengan tangan kanan menjulur ke depan dan tangan kiri di depan dada, mencoba menyisir dalam kerumunan.

Aku berada ditengah-tengah kaum alit. Lebih dari dua jam belum juga aku bisa mencapai panggung yang ada di tengah. Matahari tepat berada di atas kepala kaum alit. Dari ujung jalan yang ada di belakangku hingga ujung jalan yang ada jauh di depanku penuh dengan kepala-kepala kaum alit. Kepala dengan tangan tengadah dari dua arah terus begerak menuju panggung yang ada di tengah. Di atas panggung itu, kumpulan orang-orang elite tertawa terbahak-bahak.

Mereka puas menyaksikan pertunjukan dari kaum alit yang berebut paket bingiksan sembako berupa 3 kg beras, 4 bungkus mie instant, 1 liter minyak goreng kemasan, 4 butir telur, kabarnya juga ada tambahan amplop di dalamnya yang berisi 20 ribu rupiah.

Di dalam kerumunan kaum alit, ternyata mereka yang sudah mendapat jatah masih banyak yang tetap ikut berdesak-desakan mengambil tambahan. Petugas keamaan dari Polres, Satpol PP hingga Hansip seakan hanya sebagai pemanis belaka.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa mereka dari komunitas kaum elite telah membayar petugas keamanan, tapi bukan untuk mengamankan, melainkan membiarkan agar tetap lancar terselenggaranya hiburan dari kaum alit. Selain itu, mereka juga sudah memberikan beberapa juga untuk pantia-panitia zakat, agar tetap aman statusnya menyelenggarakan hiburan yang hanya ada satu tahun sekali, di bulan yang seharusnya orang lebih banyak puasa dalam berbagai hal.

Bisa jadi satu hari di bulan puasa, menjadi hari bahagia kaum alit dan elite. Bahagianya kaum alit karena mendapatkan paket sembako plus uang, sedangkan kaum elite bahagia melihat pertunjukan seru dari kaum alit.

"Loh Kang, kamu juga ikut?" tanya adik iparku yang tinggal sekitar 45 km dari kota.

"Setiap tahun kan aku ikut. Lha kamu kenapa sampai jauh-jauh ikut juga?" tanyaku heran, masih tetap mempertahankan posisi dalam desak-desakan kaum alit.

"Selama satu minggu ini aku mendengar di radio adanya pembagian ini, makanya sejak habis subuh tadi aku langsung berangkat," ucapnya terdengar samar-samar ditelan kerumunan yang semakin sesak. Ia pun juga menghilang di antara kaum alit.

Aku mulai berpikir, memang hebat para kaum alit untuk membuat kebahagiaan mereka. Tapi tak mengapa, aku juga bahagia. Bahagiaku sederhana. Mendapatkan bingkisan dalam pembagian yang dipenuhi lautan manusia itu merupakan sebuah prestise tersendiri buatku. Aku pun kembali bersemangat berusaha membelah himpitan orang-orang yang ada di depanku.

Kaum alit yang berkumpul seakan tidak ada habisnya, justru semakin banyak dan sesak. Ibu-ibu banyak yang terjepit dan pingsan, anak-anak kecil menangis mencari ibunya, beberapa bahkan terinjak-injak, para pengayuh becak sepertiku juga berjuang sekuat tenaga, ada juga yang memanfaatkan kakinya yang kuat untuk mendorong orang-orang di depannya. Panggung sudah semakin dekat.

"Plok!!!"

Tiba-tiba sesuatu mendarat di atas kepalaku. Bau busuk menyengat diiringi dengan lendir putih bercampur kuning kecoklatan menetes dari atas kepalaku, turun melewati depan mataku dan turun di atas bibir jatuh ke kaosku yang berwana putih.

Ku layangkan pandanganku ke atas panggung. Di sana kaum elite tertawa terbahak-bahak dengan peti-peti telur disampingnya. Mereka mengambil telur-telur busuk dari dalam peti dan melemparkannya ke bawah, yakni para kaum alit yang berebut paket sembako yang diberikan oleh panitia dari dalam pagar besi.

Suasana panas matahari di atas kepala, kerumunan kaum alit, ditambah aroma  busuk membuat kepalaku menjadi pusing, pandanganku pun mulai kabur.

"Tuhan! Turunkanlah hujan yang deras untuk kami kaum alit dan lemparkanlah halilintar ke arah panggung yang diduduki kaum elite," ucapku geram memegangi kepalaku yang terasa semakin berat.

BUGGG!!!

(bluePen, 2213_61704102)

*) Penulis Novel Sheraiser Bojonegoro

#Muat di www.blokBojonegoro.com Minggu, 20 Juli 2014, 08.00 WIB
http://blokbojonegoro.com/read/article/20140720/aku-mereka-dan-sebuah-hari-bahagia.html


#Ayo kirimkan Karyamu ke; blokbojonegoro@gmail.com