Pembalasan Si Sapi
(Oleh : Atho' R.M Sasmito)
(Oleh : Atho' R.M Sasmito)
AKU Tak tahu kenapa Tuanku lebih
suka menyebut diriku Sapi dari pada nama asliku sendiri. Mungkin karena bentuk
tubuhku sendiri kalau dilihat-lihat dan diimajinasi memang sekilas tampak
seperti sapi. Tapi entah apapun alasan Tuanku memanggilku Sapi, yang jelas aku
merasa berbeda dibandingkan tunggangan-tunggangan yang lain.
Pertama kali aku dibawa kepada Tuanku sekitar
satu tahun yang lalu. Saat itu aku berdebar-debar untuk bertemu dengannya. Aku
tiba di rumah siang hari Jumat, menanti-nati seperti apa orang yang nanti akan
menunggangiku ke manapun ia ingin pergi. Sampai sore hari aku mendengar katanya
ia pulang larut malam karena lembur. Aku pun semakin penasaran dengannya, dan
aku yakin ia di sana juga sudah nggak sabar ingin berkenalan dan menunggangi
diriku.
Keesokan harinya, aku mulai berkenalan dengan
Tuanku. Ternyata Tuanku masih muda dan cakep, wahhh pasti tambah membuatku
menjadi semakin keren. Tuanku mulai mengajakku berkenalan.
“Wah Sapiku sudah bangun, ayo pemanasan dulu
sebelum jalan-jalan," ucapnya seraya terseyum ramah kepadaku.
"Siap Tuan. Kemanapun Tuan pinta, saya
siap melayani," ucapku seperti Jin dalam lampu yang ditemukan Aladin.
Ternyata perkenalan pertama, aku tahu Tuanku
orangnya sangat hati-hati dan pengertian kepadaku. Buktinya ia tahu bagaimana
memperlakukanku, kalau biasanya orang-orang malas selalu menjewer telinga agar
bangun pagi hari, terus diajak berlari langsung, namun Tuanku berbeda. Ia
mengelus pinggangku untuk membuatku bangun, setelah itu ia membiarkan aku
melakukan pemanasan dua sampai tiga menit, selanjutnya ia mengajakku keliling desa.
“Mantap! Setelah sekian lama akhirnya bisa
juga aku menunggangimu," puji Tuanku sesampainya di rumah.
Beberapa saat ia, Tuanku itu, tampak
bersemangat untuk siap-siap membawaku ke tempat kerjanya.
Aku tak tahu kenapa, entah setan Sapi jenis
apa yang telah mengotori pikiran Tuanku, sehingga ia lebih memilihku untuk
mengabdi kepadanya daripada yang lain. Padahal, masih banyak yang lebih keren
daripada aku. Ada Si Macan Putih yang iklannya berlari di salju, ada juga Si
Harimau yang udah lebih dulu fenomenal dari aku, yang lebih keren juga yang
namanya seperti pendekar dari jepang warnanya hijau pasti bikin cewek-cewek
pada pengen ditunggangi...ups diboncengin.
Yang aku tahu dari curhatan Tuanku, sejak
sekitar 2 tahun sebelum aku datang, Tuanku sangat tergila-gila dengan pesona
dari kaum-kaumku. Setiap ada saudaraku yang lewat pasti diliriknya, bahkan juga
sampai dibuntuti sambil terbayang nikmatnya nenunggangiku. Bahkan saking
gilanya, ia mengoleksi gambar-gambar saudaraku, dan mengedit fotonya ada di
atas punggung saudaraku, benar-benar gila. Dan hari-hari menjelang
kedatanganku, ia mencari-cari informasi tentang kekurangan dan kelebihanku,
serta bagaimana cara memeliharaku agar tetap sehat dan siap untuk digembalakan
dimanapun tempatnya.
Hari ini tepat satu tahun aku setia menemani
Tuanku. Banyak pengalaman yang aku rasakan bersamanya. Di antaranya, tepat
seminggu kehadiranku di rumahnya, Nyonya Besar alias Ibu dari Tuanku jatuh dari
tempat tidur dan dilarikan ke rumah sakit. Selama itu juga aku tak bisa
merasakan saat-saat yang indah bersama Tuanku, karena pikirannya kacau,
kegembiraan yang seharusnya ia rasakan bisa menikmati aku tak bisa aku rasakan.
Di bulan pertama, aku tak bisa membahagiakan Tuanku.
Sekarang, di hari ulang tahunku, aku telah
banyak berkelana dan berpetualang dengan Tuanku. Kalau pada umumnya dalam satu
tahun normalnya rata-rata tunggangan menempuh jarak 12.000 km, tapi itu tidak
berlaku untukku. Di usiaku tepat satu tahun ini, bersama Tuanku aku telah
mencapai 20.000 km. Dan yang lebih mengherankan, aku jarang diajak ke luar
kota. Seingatku hanya dua kali ke luar kota, yakni sekitar bulan April lalu aku
diajak ke Mojokerto, dan beberapa minggu kemarin aku baru dari Bromo, dengan
oleh-oleh badanku lecet dan tandukku sedikit bengkong.
Walaupun baru dua kali atau tepatnya tiga kali
ke luar kota, yakni juga pernah ke Cepu, paling tidak itu juga sudah keluar
dari kota, namun hampir semua tempat di
semua sudut arah mata angin di kabupaten ini pernah aku singgahi, bahkan
pernah sampai ke sebuah desa di ujung kabupaten ini yang aku yakin belum ada
satupun Sapi pernah ke sana. Berbagai medan juga pernah aku jejaki dengan
tapakku yang lebar ini. Mulai dari aspal mulus, jalan berbatu dan berdebu,
lumpur yang licin, juga jalan berbatu di tengah hutan yang tidak lazim untuk
dilalui oleh spesies sepertiku. Maka tak mengherankan, meskipun jarang ke luar
kota, namun aku telah menempuh 20.000 km dalam satu tahun hanya melibas jalanan
di kota ini. Itu semua karena tanggung jawab Tuanku berkunjung di berbagai
tempat di kabupaten ini, sesuai dengan hobinya yang suka keluyuran.
Namun akhir-akhir ini aku agak kurang fit
karena perlakuan Tuanku. Minggu kemaren hampir seminggu bengawan solo meluap
dan mengakibatkan banjir. Rumah Tuanku yang berada di bantaran sungai memang
tidak kebanjiran, namun jalan yang harus ku tempuh untuk keluar dari desa harus
menerjang banjir di jalanan.
Di hari pertama banjir, aku dipaksa Tuanku
untuk menerjang banjir yang sudah sampai dadaku. Setelah berjuang keras mendengus-dengus
dengan keras akhirnya aku bisa melewati banjir itu. Sesampainya di rumah aku
hela nafas panjang untuk istirahat.
Banjir di hari ke-dua, Tuanku lebih nekat,
pagi hari setelah pemanasan aku tak diberinya minum, padahal tenagaku sudah
diperas kemarin, akibatnya ketika aku menerjang jalan yang sama, tepat di
tengah banjir aku ambruk kehabisan tenaga. Tuanku mencoba menjewer untuk
membangunkanku, namun tak berhasil. Kemudian ia mulai menggenjotku di tengah
banjir, mau tak mau dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada aku bangkit kembali
dan mendengus-dengus dengan suara memekakkan telinga ketika menerjang banjir.
Dan di hari ke tiga, ia tak berani lagi
mengajakku lewat jalan yang sama, karena ia juga bisa merasakan kondisiku
kurang fit.
"Hari ini aku tidak akan memaksamu lagi
Sapi, hari ini kita break dulu, aku tahu kamu pasti sangat kecapekan gara-gara
banjir," katanya tersenyum sambil memandikanku.
Aku sedikit bernafas lega mendengarnya, paling
tidak aku bisa sedikit merenggakngkan otot-ototku, dua hari banjir benar-benar
menguras tenagaku.
Namun kelegaanku berubah ketika Tuanku
tiba-tiba menerima pesan dari handphonenya dan dengan segera ganti pakaian.
"Maaf Sapi, hari ini ada tugas mendadak.
Ayo temani aku ekspedisi bantaran sungai bengawan solo," ucap tuanku.
"Hahhh! Aku capek, butuh istirahat,"
gumamku kecewa.
"Aku janji, hari ini tidak akan memaksamu
seperti kemarin, aku rela terjun langsung nanti, daripada melibatkanmu berendam
bersamaku," janjinya seraya tersenyum kepadaku.
Dengan lesu, aku merelakan punggungku untuk
ditunggangi Tuanku dan berangkat menuju desa-desa di bantaran sungai bengawan
solo.
Setelah melalui berbagai desa, Tuanku memang
tidak melanggar janjinya, ia mencari jalan agar aku tidak menerjang banjir.
Namun karena aku benar-benar lelah, akhirnya aku ngambek dan tidak mau lagi
diajak jalan. Ku lihat Tuanku mulai bimbang.
"Waduh, kenapa sih kamu ngambek? Aku kan
nggak ngajak kamu menerjang banjir lagi. Ayo donk bangun, tugasku belum selesai
nih," kata Tuanku cemberut.
Sampai tengah hari aku masih ngambek, aku
benar-benar capek. Tapi ku lihat langit mulai gelap, aku merasa kasihan pada Tuanku
yang sedang menjalankan tugasnya. Setelah dirayu-rayu, akhirnya aku luluh, tapi
bukan karena rayuan, melainkan aku kasihan sebentar lagi hujan pasti turun. Aku
pun bangkit, dan Tuanku bersorak kegirangan. Kita pun melanjutkan perjalanan.
Tapi ternyata Tuanku mengingkari janjinya,
meskipun ia sudah bertanya pada orang dan melarangnya, namun ia tetap memaksaku
menerjang banjir lebih parah. Aku benar-benar sewot dibuatnya, apalagi
sepanjang perjalanan pulang hujan deras tak membuat Tuanku peduli kepadaku.
Kemarin tepat di Hari Natal, akhirnya dendamku
pada Tuanku terbalaskan atas penderitaan yang aku alami. Ketika pagi hari aku
pemanasan, ia mengolesiku dengan minyak, begitu ia lengah, kugigit telunjuknya
hingga ujungnya hancur. Pagi itu rumahnya menjadi ramai, lantaran para tetangga
berdatangan melihat apa yang terjadi.
Di dekat sumur tua samping rumah, ia
dikerumuni oleh tetangga, ujung telunjuknya hancur oleh gigitanku hingga tampak
tulang kecil warna putih di antara darah merah segar yang terus menetes ke
lantai. Dan akhirnya ia dibawa ke rumah sakit di pagi hari yang gerimis itu.
Sesampainya di rumah, aku tersentak mendengar
bahwa ujung telunjuknya terancam amputasi. Aku tak menyangka sampai segitunya
akibat dari gigitanku.
Maafkan aku Tuan, setidaknya dengan begini aku
bisa lebih banyak waktu untuk istirahat. Dan kamu, aku yakin tahu bagaimana
memanfaatkan waktu luangmu.
bluePen,
8164_72213102
#Dimuat Minggu, 29 Desember 2013 di : http://blokbojonegoro.com/read/module/20131229/pembalasan-si-sapi.html
Kirimkan juga Karyamu ke Email : blokbojonegoro@gmail.com
Cerpen tayang setiap hari Minggu.