WELCOME to the Dance Floor of bluePen - Let me be your ARmS to hug You with My ARtS

Pages

Sunday, September 15, 2013

Gethuk Mbok Ndari


Gethuk Mbok Ndari

#Jawa Pos, Radar Bojonegoro Minggu 15 September 2013

            SUDAH Menjadi kebiasaanku sejak masih duduk di kelas 2 SMP, pagi hari sarapan dengan gethuk, makanan terbuat dari singkong rebus yang ditumbuk halus dan disajikan dengan parutan kelapa dan sambal berupa serbuk, serta dibungkus daun pisang. Sampai sekarang aku duduk di bangku kuliah semester  5 pun hampir setiap pagi setia di tikungan jalan, menanti kedatangan Mbok Sundari atau yang biasa dipanggil Mbok Ndari, penjual gethuk.
            Entah kenapa sejak di bangku SMP itu ku suka sarapan gethuk. Tak peduli teman-temanku menakut-nakutiku kalau otakku bisa menjadi kempel seperti gethuk alias bodoh, karena setiap pagi sarapan gethuk. Tapi aku tidak merasakan yang dikatakan teman-temanku, justru di dalam kelas aku selalu masuk dalam peringkat 3 besar. Apa hubungannya kalau kebanyakan makan gethuk , bisa membuat otak kayak gethuk alias bodoh?
            Pagi ini aku masih menanti Mbok Ndari di tikungan jalan desa. Kalau biasanya Mbok Ndari lewat pada sekitar pukul enam, namun akhir-akhir ini sebelum mentari terbit ia sudah sampai tikungan. Untungnya beberapa waktu yang lalu ketika selepas subuh aku jogging keliling desa bertemu dengannya. Mbok Ndari mengatakan bahwa mulai saat itu ia jualan lebih pagi dari biasanya.
            “Iya Le, berangkat lebih pagi. Pekerjaan di rumah banyak, setiap pagi bapak juga siap menyeberangkan mbok, jadi pulangnya juga tidak terlalu siang, bisa menyelesaikan pekerjaan di rumah,” terang Mbok Ndari kala itu, sambil memarutkan kelapa di atas gethuk warna kuning yang sudah diiris-iriskannya di atas lembaran daun pisang.
            Sejak saat itu Mbok Ndari selalu lewat lebih pagi dari biasanya. Dan terpaksa aku juga harus rajin bangun pagi, agar aku tetap bisa makan gethuk yang selalu aku nikmati dari dulu setiap pagi. Tapi memang benar, sejak akhir-akhir ini aku menjadi lebih rajin. Bangun menjelang waktu subuh, selesai subuh aku gunakan untuk jogging keliling desa dan menanti Mbok Ndari di tikungan. Dari rutinitas pagiku itu, sepanjang hari selalu aku lalui dan kerjakan dengan semangat. Selayaknya aku harus berterima kasih kepada Mbok Ndari yang lewat lebih pagi.
            Mbok Ndari sudah berjualan gethuk sejak aku masih kecil. Ia pernah pangling denganku, lantaran dulu katanya waktu ibuku masih hidup, sejak kecil ibu selalu menggendongku menunggunya lewat untuk membeli gethuk, dan waktu kecil katanya aku paling suka gethuk yang banyak parutan kelapanya. Bahkan aku dulu katanya juga merengek-rengek ketika dilarang banyak makan parutan kelapa, karena ibu takut aku cacingan. Setelah ibu pergi, tak pernah ada yang mengajakku membeli gethuk. Dan waktu di bangku SMP itu kebetulan aku penasaran melihat wanita memakai jarik dan kemben seperti orang Jawa asli, di atas kepalanya ada tampah yang tampak nempel walau tanpa dipegangi, di atas pinggulnya ada keranjang yang terbuat dari anyaman bambu berisi daun-daun pisang yang digulung. Keranjang itu digendong dengan kain warna merah yang biasa digunakan untuk menggendong anak kecil, dan satu tangannya dipakai untuk menjinjing tas yang terbuat dari anyaman daun pandan.
            Ketika ia berjalan di sepanjang desa, aku mengikutinya dan mengamati apa yang ia lakukan. Ketika ia menyadari diikuti, akhirnya ia berhenti dan bertanya kepadaku. Dari situlah ia tahu bahwa sejak kecil aku selalu digendong ibu membeli gethuknya, dan ia pun memberikan gethuk kepadaku.
            Kalau aku ingat-ingat masa itu, kadang aku ingin tertawa sendiri. Rasa penasaran membuatku membuntuti Mbok Ndari yang berjualan gethuk, hingga akhirnya aku diberi sebungkus gethuk yang banyak parutan kelapa seperti waktu aku masih dalam gendongan.
            Pagi ini kabut seperti menutup desa. Di bawah lampu tepi jalan tikungan, aku masih menunggu Mbok Ndari. Rumah Mbok Ndari berada di seberang desaku. Setiap hari ia harus menyeberangi Sungai Bengawan Solo dengan dengan perahu suaminya yang biasa dipakai mencari ikan di bengawan. Ia biasa berjualan di sepanjang jalan desaku. Pembeli paling banyak biasanya dari petani yang juga berangkat ke sawah, setelah itu ia menuju ke SD di desaku, tidak sampai tengah hari sudah habis ia langsung pulang, di bengawan ia sudah dijemput suaminya untuk pulang. Tak bisa aku bayangkan jika aku sendiri yang menjalaninya. Setiap pagi buta sudah menyeberang Bengawan Solo, dingin dingin suasana pasti juga membuat merinding, apalagi aku juga paling takut kalau naik perahu.
            Di antara kabut pekat yang membungkus pagi, sosok yang aku tunggu akhirnya tiba. Di bawah sinar lampu di tikungan jalan desa, bayangan yang ada di dalam kabut mulai tampak jelas, Mbok Ndari dengan tampah, keranjang juga tas bawaannya. Ia pun menurunkan barang bawaannya seraya tersenyum kepadaku.
            “Sudah lama le, nunggu Mbok Ndari?” tanya Mbok Ndari sambil mengeluarkan parut kelapa dari tas dan juga daun dari keranjang bambu.
            “Lumayan Mbok, tumben agak lama baru muncul Mbok?”
            “Iya le, Mbok Ndari agak kurang sehat, tadi bangun tidur badan rasanya kayak habis digebugi, mungkin kecapekan” jawab Mbok Darmi sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.
            Memang pagi ini Mbok Ndari tidak seperti biasanya, matanya sayu dan wajahnya agak pucat, namun tangannya masih cekatan seperti biasa ketika mengiris gethuk di atas parut sebagai tatakannya.
            Setelah getuk ia iris-iris dan ditaruh di atas sobekan daun pisang, parut kelapa yang ia gunakan sebagai tatakan ia tegakkan dengan tangan kiri, dan tangan kanannya dengan lincah memarut kelapa yang sudah dibelah menjadi empat bagian yang biasa disebut dengan cikalan. Kemudian hasil parutan kelapa itu ia taburkan di atas irisan-irisan gethuk yang siap dibungkus dengan daun pisang itu. Sebelum membungkus gethuk itu ia juga menaburkan sambal khusus gethuk, yaitu berupa serbuk berwarna kuning kecokelatan seperti serbuk gergajian dari kayu. Gethuk itu memang lebih enak jika dimakan dengan taburan sambal serbuk itu, karena rasa sambal itu pedas, asin, manis serta gurih menjadi satu semakin membuat membuat gethuk terasa lezat.
            “Ini le, seperti biasa tow?” tanya Mbok Ndari tersenyum seraya memberikan gethuk yang sudah dibungkus daun pisang.
“Iya Mbok, sudah tahu kebiasaanku gitu kok,” jawabku seraya tersenyum. Aku pun menerima dan membayarnya.
            “Sregep tenan le, setiap pagi mesti sudah nungguin Mbok Ndari,” ujar Mbok Ndari sambil membereskan barang-barangnya dan siap-siap melanjutkan perjalanan.
            “Iya mbok, ya karena Mbok Ndari aku jadi tambah rajin bangun pagi dan semangat menjalani waktu sepanjang hari, terima kasih ya Mbok,” balasku dengan senyum.
            “Iya le, sama-sama,” balasnya juga tersenyum sambil menaikkan tampah di atas kepalanya.
            “Oh ya mbok, kalau kurang sehat kok masih dipaksakan jualan, bukan dipakai istirahat saja dulu tow mbok?”
            “Kalau mbok istirahat, kamu nggak sarapan gethuk nu le,” jawab Mbok Ndari dengan senyumannya yang khas.
            “Ya nggak apa-apa mbok, paling enggak jangan dipaksakan kalau mbok memang sakit, pakai istirahat dulu, kalau sudah pulih kan bisa jualan lagi. Dari pada dipaksakan malah lama sembuhnya,”
            “Iya le, nggak apa-apa, mbok sudah biasa kok. Mbok duluan ya,” pamit Mbok Ndari siap melanjutkan perjalanan.
            “Iya Mbok, terima kasih ya,”
            “Iya le, sama-sama,” jawab Mbok Ndari seraya melangkahkan kakinya.
            Beberapa saat kemudian bayangan Mbok Ndari sudah mulai menghilang di dalam pekatnya kabut pagi. Bungkusan gethuk dari Mbok Ndari tadi aku buka dan mulai aku nikmati sarapanku pagi ini.
            “Pagi-pagi sudah di tikungan, sarapan apa mas?” tanya Mbak Nah yang lewat sambil menuntun sepeda.
            Mbak Nah adalah seorang janda tetangga desaku yang bekerja sebagai buruh tani, dan setiap selesai subuh ia langsung berangkat untuk mencari nafkah menghidupi dua anaknya masih duduk di bangku sekolah dasar.
            “Ini mbak, sarapan gethuk Mbok Ndari, tadi kebetulan baru saja lewat,”
            “Mbok Ndari?” tanya Mbak Nah kaget dan menghampiri aku.
            “Iya, gethuk  Mbok Ndari yang dari seberang bengawan solo mbak,” jawabku masih menikmati gethuk yang tinggal beberapa iris.
            “Astagfirullahhaladzim! Mbok Ndari sudah meninggal dua minggu yang lalu bersama suaminya ketika nyebrang di bengawan. Perahunya terbalik dan mereka tenggelam terseret arus bengawan yang meluap!”
            Kunyahan mulutku berhenti seketika. Aku tidak berani merunduk dan melihat apa yang ada di tanganku.
            Jika Mbok Ndari sudah meninggal dua minggu yang lalu, jadi siapa yang setiap pagi buta mengiriskan gethuk, memarutkan kelapa dan menaburkan sambal di atas gethuk dan memberikan kepadaku di tikungan ini. Dan apa yang aku masukkan ke dalam perut melalui kunyahan mulutku selama dua minggu ini??!!
            Aku terdiam, tak berani bergerak, sekalipun itu mataku. (arms)
                        (bluePen 2.08 am, 62703102)

#Tiga Per Empat Halaman