WELCOME to the Dance Floor of bluePen - Let me be your ARmS to hug You with My ARtS

Pages

Wednesday, June 19, 2013

Hasil Pemilihan Duta Wisata Kange Yune Bojonegoro 2013

Inilah Hasil Pemilihan Duta Wisata Kange Yune Bojonegoro 2013:
(Oleh : Atho' R.M Sasmito)

#Malam Grand Final Kange Yune Bojonegoro 2013
=>Kange : Dede Fiskurniawan Tri Putra (SMAN 2 Bojoenegoro)

=>Yune   : Dina Ghandi Rachmawati (SMAN 1 Bojonegoro)

=>Wakil 1: Indra Nugraha (SMAN 1 Bojonegoro), Inneztesya Irazario (MAN 1 Bojonegoro)

=>Wakil2 : Puguh Andi Setiawan (Institut Pertanian Bogor), Octavia Yasnasari (SMAN1 Sumberrejo)

=>Juara Harapan 1 : Hartono Bayu Aji (SMKN 2 Bojonegoro), Aulia Shabrina Kharismawati (Universitas Brawijaya),

=>Juara Harapan 2 : Fungky Pratama (Universitas Muhammadiah Malang), Dwi Wahyu Lestari (SMAN 1 Bojonegoro)

=>Juara Persahabatan : Aditya Hadi Nugraha (SMAN 3 Bojonegoro), Mufida Fitriyani (SMA Plus Al-Fatimah Bojonegoro)

=>Juara Best Talent : Lily (SMAN 1 Sumberrejo)

=>Juara Best Costume : Billy Dovan (SMAN 1 Bojonegoro), Viola Dara Bunga Permata (SMAN 3 Bojonegoro)

=>Yune Intelegensia : Aulia Shabrina Kharismawati (Universitas Brawijaya)


=>Favorit Polling SMS; Billy Dovan SMAN 1 Bojonegoro), Wenny Ayuning Dwitha Ameyla (SMKN 4 Bojonegoro)

=>Favorit Tiket : Hany Irsalina (SMAN 2 Bojonegoro)


#Hadiah utamanya buat aku aja ya...;)
Guyon...guyon...opo cuah...:(



Bukan Seventeen Biasa

Bukan Seventeen Biasa
Oleh : Atho' R.M Sasmito


“Tulalit.. tulalit..” Bunyi alarm handphone jadul, berisik membangunkan tidurku pukul setengah lima pagi. Dengan malas, ku raba-raba dimana hp itu berada. Setelah ku temukan, kulempar hp itu ke kucing yang asikmlungker dibawah tempat tidurku.
“Meooooooong!!!!” Sontak kucing yang sedang asik tidur itu, tiba-tiba meloncat kaget. Lalu mengmpat-umpat atas ulahku. Seketika itu, bunyi alarm langsung mati. Berikut hapeku juga tewas mengenaskan.. Oh no!
“Hoooaaammmmp,” ku rasakan nikmat sekali bangun pagi ini. Sambil menggeliat, ku buka mulutku lebar-lebar. Dan, keluarlah nafas naga dari mulutku yang seksi.
Lihatlah, betapa rajinnya diriku, bangun tidur, ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi, ku tolong ibu, membersihkan tempat tidurku. (Hehehee.. malah nyanyi).
Hari ini hari Minggu. Ku tengok kalender yang menempel di dinding. “What???” Tanggal 20 Januari.
Ku berlari ke arah lemari. Ku bongkar dokumen-dokumen rahasiaku. Ku temukan ijasahku  SMP, ku buka dan ku perhatikan angka-angka yang tertera disana. Ku buka ijasahku SD, angka-angkanya juga sama. Ku kais-kais lagi kertas-kertas yang lainnya. Akhirnya, kutemukan yang ku cari. AKTA KELAHIRAN.
Ku baca tulisan-tulisan yang tertera dari atas sampai kebawah. Dengan senyum tak percaya, ku perhatikan baik-baik isinya. Ku cubit-cubit dan ku tampar-tampar pipi kiri dan kananku. “Aughh.. sakit.” 
Terimakasih Tuhan atas karunia darimu. Tepat tujuh belas tahun yang lalu, Engkau ijinkan aku keluar ke dunia ini. Dan sekarang, aku masih bisa merasakan nikmat berupa nafas dan kehidupan ini. Meskipun aku sadar, usiaku setiap tahun berkurang 365 hari. Setiap bulan berkurang 30 hari. Setiap minggu berkurang 7 hari. Dan, setiap hari berkurang 24 jam  (anak kecil juga tahu!). Aku terharu.
Usia tujuh belas tahun?? Orang- orang bilang, usia itu sangat penting bagi remaja. Karena di masa itu, adalah gerbang bagi seseorang menjadi dewasa. Tak jarang, sebagian orang merayakan angka itu secara istimewa, dan ada hal-hal yang membuatnya menjadi istimewa. Biasanya mereka sebut dengan istilah sweet seventeen.
Sweet seventeen?? Akankah aku juga akan merasakannya?? Setiap aku ulang tahun saja tak pernah ada yang memberi ucapan, apalagi yang merayakan. Ahh,, masa bodo dengan sweet seventeen. Yang penting aku masih bisa merasakan nikmatnya bisa bernafas hingga saat ini.
Oh iya, hari ini aku ada ujian karate. Ini akan menjadi ujian penurunan Kyu (tingkatan berdasarkan warna sabuk) ke-dua bagiku. Aku masih Kyu 8 dengan sabuk wana kuning. Kebetulan hari ini berteptan dengan ulang tahunku. Aku berharap, bisa langsung turun menjadi kyu 6 dengan sabuk warna hijau, tanpa harus ke kyu 7 dulu dengan sabuk yang masih berwarna kuning. Aku bosan berlama-lama dengan sabuk warna kuning.
Ujian karate dilaksanakan di aula diknas, yang berada nun jauh disana dari rumahku. Dan ujian di mulai tepat pukul tujuh.
Selesai sarapan, aku memanasi Motor Vixion tahun 1980-an ( Yamaha L 2 Super ) peninggalan almarhum ayahanda tercinta. Vixion warna biru ( lebih layak disebut BELANGLANG TEMPUR. Bukan ‘Belalang Tempur’ lho! Biar lebih simpel, sebut saja Si Belang) itu sudah lama ngangkrak. Namun,dua minggu ini aku berhasil membangkitkan kembali,berkat ilmu yang sedang aku pelajari di bangu SMK semester ini.
Dengan Si Belang, aku meninggalkan rumah pukul setengah enam pagi. Meskipun dari rumah menuju Diknas, yang berada di Jalan Patimura, hanya menghabiskan waktu paling lama 45 menit, namun aku sengaja berangkat lebih awal. Aku takut,  nanti kalau ada operasi orang cakep. Upss, operasi motor. Pajak Si Belang sudah habis lima bulan yang lalu. Angka  tahun yang tertera di pojok kanan bawah plat, juga sudah mati. Aku cat, dan ku ganti angka itu menjadi lima tahun kedepan. Selain itu lampu-lampu motor tidak ada yang berfungsi. Bahkan, kaca spion pun juga tak ada.
Selain faktor motor, aku juga belum mempunyai SIM. Bagaimana punya SIM, ke sekolah saja aku selalu memakai sepeda pancal. Kalau tidak karena faktor moment ujian karate, aku ogah menghidupkan kembali Si Belang.


#Ini nih, kalau belum ada gambaran Si Belang. Cuma sedang berpose dengan Cucunya..:)

Betapa gembiranya diriku, melaju diatas jalan raya bersama Si Belang. Dengan gaya norak, ku pacu dia. Kedua tangan kulepas dari setang, dan kulipat didepan dada. Orang-orang yang aku lewati, hanya mengeleng-gelengkan kepala melihat ulahku (aku tak tahu maksudnya, entah kagum, atau sambil mengelus dada). Mereka aku foggingdengan asap yang keluar dari knalpot. “Rasain. Sebentar lagi terserang radang paru-paru kalian.”
Aku singgah dulu di Pom Bensin, memberi sedikit minum Si Belang. Kemudian, kulanjutkan kembali perjlanan suci, menuju diknas yang masih setengah perjalanan.
Baru beberapa meter keluar dari Gasoline Station, aku merasa aneh. Aku serasa sedang naik Onta. Segera aku tepikan diri bersama kendaraanku. Aku turun. Ku perhatikan baik-baik motorku. Si Belang masih dalam wujud semula, bukannya onta yang kurasakan tadi.
Ku amati, ku teliti dan ku pahami lagi. “Omaigat!!” gumanku kesal. Ku caci. Ku maki. Ku umpat, dan kutendang-tendang ban depan Si Belang yang kempes, berharap dengan begitu , muncul keajaiban, dan ban itu kembali menggembung. Namun harapanku sirna, ban itu masih tetap kempes. 
Aku berusaha keras memutar otak didalam kepalaku. Dengan segera, aku bawa Si Belang mencari reparasi tambal ban terdekat. Namun, tak ada satupun yang tampak. Setelah harap-harap cemas, akhirnya kutemukan juga, sebuah ban bekas,  terpampang disamping jalan bertuliskan TAMBAL BAN dengan cat warna putih. Namun harapan baik untuk Si Belang jadi sirna. Bangunan reparasi yang terbuat dari papan itu masih tertutup rapat.
Ku coba mengampiri rumah yang berada disamping reparasi itu, mungkin itu rumah pemilik reparasi.
Ku ketok-ketok pintu rumah di samping jalan bekas rel kereta api itu, sambil memangil-manggil. Namun rumah itu sepi-sepi saja, tak ada jawaban.
“Assalamualaikum,”
Tak ada jawaban. Aku coba lagi, “Assalammualaikum,,, selamat pagi,,, hallo,,, ada orang tidak,,, Pak, tolong Pak,, Bang,satenya Bang. Seratus tusuk setengah matang ya… “ segala macam sapaan yang pernah ada, sudah aku kerahkan satu persatu. Namun, tetap tak ada jawaban. Aku mundur beberapa langkah. Aku jadi keder, jangan-jangan rumah ini angker. Aku bergegas meninggalkan tempat ini. Namun, tiba-tiba… “Kresss..” Ku merasakan sesuatu pada lengan kananku. Perlahan ku tengok dan…
“Auwwwghh..” teriaku kesakitan dan kaget. Seekor kera kecil berbulu hitam, menggigit lengan kananku dengan nafsu. Segera aku tarik lenganku dari rahangnya.
Ku lipat, kain panjang jamper di lenganku. Ku geleng-gelengkan kepala, melihat lenganku ada gambar gigi-gigi si kera.
Laksana dalam film Dragon Ball, seperti Son Gohan yang tiba-tiba rambutnya berubah menjadi pirang. Ku tatap tajam mata si Monyet dengan wajah innocent itu. Dengan penuh amarah, ingin sekai rasanya aku menghajar monyet sialan itu bertubi-tubi. Ku ajak dia terbang tinggi, lalu ku hempaskan ke bumi. Dan, ku akhiri seranganku dengan Kame Hame. Namun, hasrat besarku itu pupus, seiring dengan datangnya seorang ibu-ibu menghampiriku.
“Maaf Mas, cari siapa ya?” tanya ibu itu dengan ramah.
“Ban motor saya bocor, saya mau menambalkan disini, tapi masih tutup. Orangnya dimana ya bu?” 
 “Wah, Mas,jam segini belum buka.Biasanya bukanya nanti jam setengah delapan,”tutur ibu itu. “Byarrr. Satu jam lagi?? Padahal nanti pukul tujuh, aku harus sudah stand by di diknas. Apess,” gumanku kecewa.
“Coba, Mas cari di jalan depan pos polisi itu ke utara. Mungkin sudah buka pagi ini,” 
 “Iya Bu, terimakasih informasinya,” pamitku bergegas menuju Si Belang.
 “Eh, tangan Mas kenapa? “ tanya ibu itu heran melihat aku memegangi lenganku.
 “Aku tidak tahu kalau disana ada monyet. Mungkin monyet itu takut kalah saingan cakepnya denganku, makanya ia menggigit lenganku,” jelasku, menunjuk kearah seekor monyet kecil berbulu hitam, memainkan rantai yang mengikat lehernya. Ia menatapku dengan wajah penuh kemenangan.
Ibu itu hanya tersenyum horor mendengar curhatku. Aku bergegas menuju tempat yang di tunjukkan ibu tadi. Pos polosi ke utara. “What?? Pos polisi??”
Dengan sedikit ragu, aku memasang wajah innocent seperti monyet sialan tadi. Pelan-pelan, sambil menahan nafas,bahkan juga menahan kentut, aku menyebrang jalan dengan menunggangi Onta.Ups, Si Belang, melewati depan pos polisi.
“Bruuuttt…” lepas juga kentutku, seiring dengan nafas panjangku. Setelah jauh dari pos polisi, dan yakin tak ada satupun polisi yang mengejarku. Uffft.
Ku cari, dan ku cari. Akhirnya ku temukan tempat yang ku cari. Benar-benar jujur dan baik hatinya ibu tadi. Kebetulan reprasi itu sudah buka dari tadi, aku segera merelakan Si Belang pada pemilik reparasi, untuk segera di obati lukanya
Sembari menunggu Si Belang pulih, aku minta sabun pada pemilik reparasi. Aku segera membasuh dan menyuci bekas gigitan monyet tadi. Sebenarnya aku tidak takut kena rabies ( kalau monyet itu yang ku gigit, sudah pasti kena rabies). Yang aku takutkan seperti dalam film Spiderman. Setelah digigit laba-laba, ia menjadi manusia super yang keren dengan senjata andalan jaring dari tangannya. Tapi aku, yang menggigit adalah monyet. Bisa-bisa  tubuhku ini perlahan mulai tubuh bulu yang semakin lama semakin lebat, bukannya menjadi Sun Gokong, malah menjadi Sugriwa. Bisa-bisa hilang wajah tampanku yang mirip Irwansyah ini. Oh No!!
….



#Narsis dulu ya, kali ini pake Cucunya Belanglang Tempur B)

Aku tiba di aula diknas pukul setengah delapan. Untungnya tim penguji belum datang, jadi aku bisa persiapan dulu sambil pemanasan. Peserta yang mengikuti ujian kali ini sekitar 50-an, campuran dari ranting Umum, SMA dan SMP. Mereka terlihat begitu rapi dan bersemangat hari ini.
Diantara peserta itu, ku perhatikan ada seorang cewek, sedari tadi memperhatikanku yang sedang pemanasan sendiri. Aku lempar senyum padanya, ia pun tersenyum balik dengan manis padaku. Aku jadi Ge Er.
Ketika namaku di panggil tim penguji, dengan tegap, aku maju ke tempat ujian untuk mempraktekkan materi-materi yang selama ini telah aku pelajari.
Aku merasakan berbeda ujian kali ini. Dari tahun lalu. Setiap gerakan yang ku tunjukkan, penuh dengan speed danpower.
Kuda-kuda juga mantap, gerakan juga indah, benar-benar yahuut dahh. Apa ini gara-gara monyet sialan tadi. Atau senyum manis dari cewek  tadi, atau karena apa, entahlah aku tak tahu.
Peluh di keningku, juga seragam warna putih yang aku kenakan sudah basah kuyup menampung keringat yang keluar dari setiap pori-pori kulitku. Setelah semua materi aku praktekkan, dengan rolling badan yang sudah payah ini, aku menuju gerombolan peserta yang menonton ujianku tadi. “Ughft.. selesai juga ujianku,” keluhku sembari mengatur nafas yang serasa tinggal di mulut.
Kulepaskan sabuk warna kuning yang melingkar di do gi-ku, terlihat jelas perut kecilku yang belum six pack itu kembang-kempis mengatur nafas yang keluar dari mulut juga hidungku. Sambil duduk dan meluruskan kaki, ku sandarkan tubuhku di dinding, menyaksikan peserta lainnya yang tampil di depan penguji.
Sedang asik menikmati helaan nafas demi nafas, tiba-tiba ada tangan yang menyodorkan minuman di depanku. Perlahan ku lihat tangan itu, terus pandanganku perlahan berjalan ke atas, kulihat pundaknya, ku lihat dagunya, kulihat bibirnya, ku ihat hidungnya, kulihat matanya, ku lihat wajahnya. Ku lihat lagi wajahnya, kulirik dia, semakin kupandang, semakin menawan.
“Gerakan-gerakannya tadi mantap Mas, penuh semangat,” puji cewek manis yang berambut panjang dikuncir itu.
“Terimakasih,” jawabku tersenyum manis mendengar pujian itu. Kalau tidak salah, cewek itu yang memperhatikan aku sewaktu pemanasan tadi.
“Oh ya, namanya siapa?”
“Aku Mitha, dari Ranting SMA, kalau Mas dari mana?”
“Aku Athok, dari Ranting Umum,”
Aneh, ada perasaan deg-deg serrr, jantungku terasa cepat berdetak, saat ku jabat tangan halus Mitha dan ku tatap indah matanya. Akankah ini pertanda menjadi awal sweet seventeen-ku??? (arms)
*Member Sekolah Menulis SEC (SMS) / Email: smithjava14@yahoo.com

#ilustrasi: kompas.com
#Photo di Jembatan Malo, Bojonegoro

Thursday, June 13, 2013

Mie Ayam Bakar Special Manusia Setengah Salmon



Hemmm...
Hujan n dingin
Menu Mie Ayam Bakar spesial pake Manusia Setengah Salmon uenak rasanya.... :-q
Apalagi ditemani orang yang spesial juga...:)

Selamat menikmati hidangan khas ala Resto Kambing Jantan...:D

#AwwaZ keselek

Wednesday, June 12, 2013

Tua yang Cakep B)



Inilah jika kita menjadi tua nanti...

Walaupun sudah berambut putih, tetep aja cakep.. B-)

Narziz....:D

Friday, June 7, 2013

Informasi Pemilihan Duta Wisata Kange Yune Bojonegoro 2013

Pemilihan Duta Wisata Kange Yune Bojonegoro 2013

Pemilihan Duta Wisata Kange Yune 2013:

*Seleksi, Minggu, 2 Juni 2013
*Karantina, 13,14 dan 15 Juni 2013, bertempat di Hotel Nirwana Bojonegoro
*Grand Final 15 Juni 2013

Powered By; Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro, Paguyuban Kange Yune Bojonegoro dan blokBojonegoro Media

Batu Kali dan Sepatu

Batu Kali dan Sepatu
(Oleh: Atho' R.M Sasmito)
Dinginnya air kali terasa menyerang sekujur tubuhku, menusuk tulangku. Ku lihat, langit semakin gelap.

***

Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan dari desa seberang, menandakan waktu sudah pagi dan menjelang subuh. Desaku berbeda dengan desa seberang. Di sini tak ada yang memelihara ayam.

Semua seakan terasa ironi. Kami hidup di desa terpencil di tengah hutan yang berada di wilayah selatan kota. Keberadaan desa kami terasa begitu terkucil dari desa-desa lain, di mana di desa kami yang jauh dari kecamatan hanya terdapat tak lebih dari 15 rumah. Desa kami dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan tak ada akses yang memadai menuju desa-desa tetangga. Bahkan listrik pun belum bisa masuk ke desa kami.

“Ayo bangun nduk, sudah subuh, nanti terlambat berangkat ke sekolah lho,” suara ibu dari luar kamar, memaksaku membuka mata yang masih terasa berat.

“Inggih bu,” jawabku dengan malas.

Aku bangun dan duduk sambil menggeliat merentangkan kedua tanganku. Kulihat, adik perempuanku masih  lelap tidur di sampingku.

“Dik, bangun dik. Sudah subuh ayo bangun,” kedua tanganku menggoyang-goyangkan tubuhnya agar segera bangun.

Beberapa saat kemudian ia mulai menggeliat dan bangun dengan malas.

“Masih ngantuk Kak, tadi malam nggak bisa tidur banyak nyamuk,” jawab adikku dengan malas sambil mengucek-ucek matanya. Aku pun tersenyum.

“Ayo bangun dik, jangan malas-malas,” tuturku sambil tersenyum.

Kami pun beranjak dan membereskan tempat tidur, kemudian menuju sumur belakang rumah untuk wudlu dan mengerjakan salat subuh.

***

Ayo dik, cepetan, nanti terlambat lho,” seruku dari pintu depan menunggu adikku.

“Iya kak, sebentar, mencari kaos kaki dulu,” jawab adikku dari dalam.

Tak berapa lama adikku yang masih seragam putih merah muncul dengan menenteng sepatu bututnya.

“Ayo kak, kita berangkat,” ajaknya seraya tersenyum.
Aku pun mengangguk tersenyum melihat semangat adikku untuk menuntut ilmu. Kami berjalan sambil menenteng sepatu, menyusuri jalan desa yang becek karena hujan deras mengguyur desa kami semalam.

Di desa kami tidak ada sekolah. Jika ingin menuntut ilmu, kami harus pergi ke desa seberang, dengan berjalan keluar dari hutan, kemudian menyeberangi kali dengan cara melompat dari batu satu ke batu lain, yang menjadi tumpuan di atas kali dangkal dan deras oleh aliran air yang berasal dari atas bukit. Setelah itu kami harus berjalan melewati pematang sawah untuk mencapai jalan setapak, kemudian baru bisa memakai sepatu dan berjalan sejauh 2 kilometer untuk sampai di sekolah.

Tak mengherankan dengan akses yang begitu beratnya hanya ada enam orang dari desa kami yang mau menuntut ilmu di desa seberang, selain aku dan adikku adalah anak pak lurah dan pak RT yang mau sekolah dari banyaknya anak-anak yang masih seusia aku yang memakai seragam putih biru dan adikku di desa kami, itu pun juga karena kami memanfaatkan bea siswa yang diberikan oleh sekolah.

“Sini dik, kakak bawakan sepatunya. Ikuti kakak ya,” tuturku ketika sampai di tepi kali.

Perlahan aku mulai mencelupkan kaki ke air kali yang dingin, dengan tertatih aku berjalan sambi menggandeng tangan adikku di belakang. Beberapa langkah kemudian kami sampai di batu besar pertama. Setelah batu besar itu, batu-batu berikutnya ukurannya sedikit lebih kecil, dan jarak dari batu ke batu kurang lebih satu lebar langkahku, sehingga kami harus melompat untuk mencapai batu-batu itu.

Kami sampai di seberang kali. Kali ini muncul keisenganku. Aku berlari-lari kecil menggoda adikku di sepanjang pematang sawah. Ia mengejarku sambil teriak-teriak meminta sepatunya yang aku bawa.
Akhirnya kami sampai di jalan setapak menuju ke sekolah. Kami membersihkan kaki di irigasi yang berada di samping jalan, kemudian memakai sepatu dan siap melangkahkan kaki menuju ke sekolah.

Sekolah kami satu atap. Aku yang duduk di bangku kelas 2 SMP atau kelas 9, meninggalkan adikku kelas 4 yang kelasnya ada di depan.

***

Aku mengikuti pelajaran terakhir dengan gelisah. Dari jendela kelas, jauh kulihat mendung hitam menggantung di atas desaku. Langit di atas gedung sekolahku pun mulai gelap. Di luar aku lihat adikku sudah tak sabar menanti aku keluar.

Begitu bel berbunyi, aku bergegas keluar kelas dan menemui adikku. Kami berlarian sepanjang perjalanan, karena rintik-rintik hujan mulai turun.

Sepanjang pematang sawah aku dan adikku terus berlari dengan seragam kami yang sudah basah kuyup. Tak jarang kami terpeleset hingga kaki kami terperosok ke sawah. Kami terus berlari menuju kali yang memisahkan desa kami.

“Terlambat dik,” ucapku penuh sesal sambil menyibak rambut depanku yang basah menutupi wajah.

“Terus bagaimana kak, kita pulangnya?” tanya adikku mulai menangis.

Aku semakin bingung mendengar adikku menangis. Di depanku, kali dangkal yang tadi pagi masih menampakkan batu-batu besar, kini airnya mengalir sangat deras hingga batu-batu itu tampak permukaannya dialiri air.

“Tenang dik, tenang, jangan menangis lagi,” pintaku.
Adikku berhenti menangis, beberapa saat kemudian ia menatapku. Aku pun membalas tatapannya dengan senyum.

“Bagaimana kak kita pulangnya?” adikku mengulangi pertanyaannya.

“Sekarang gantian kamu yang membawa sepatu kakak ya,” pintaku seraya tersenyum.

“Maksudnya kak?”

“Kamu bawakan sepatu kakak, nanti kamu kakak gendong di punggung kakak, kita menyeberangi kali,” jelasku meyakinkan.

“Kakak yakin bisa melewati arus deras ini?”

“Yakin dik, percaya sama kakak,” jawabku mantap.

“Ya sudah kak, hati-hati ya,”

“Siap dik, ayo rangkul bahu kakak,”

Perlahan adikku meraih bahuku, dan aku mulai berdiri sambil mengangkat kedua paha adikku yang ada di di samping kiri dan kanan pinggangku.

Dengan hati-hati aku mulai melangkahkan kaki di kali yang airnya mengalir deras hingga mendapatkan batu pertama. Dengan hati-hati pula melanjutkan meraih batu berikutnya sambil menggendong adikku di belakang.

Hingga akhirnya kami sampai di batu besar terakhir. Aku menurunkan sejenak adikku dari punggung.

“Sebentar ya dik, kakak capek,” ucapku sambil bertolak pinggang merenggangkan otot badanku.

“Iya kak, tapi jangan lama-lama, adik takut,” rengek adikku ketakutan ketika kakinya berdiri di atas batu besar yang didera derasnya arus air yang mengalir.

“Iya dik, sebentar, tinggal beberapa meter lagi kita sampai kok,”

Aku menggeliat meluruskan punggungku. Oh Tuhan, kapan di atas kali ini ada jembatan. Keluhku dalam hati.
Belum puas aku meluruskan punggung, tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan. Kaki kanan yang ku jadikan tumpuan kuat, tak mampu menahan tubuhku.

“Kakak!!!”

Aku terjatuh di atas batu. Namun tanganku masih berpegangan erat di ujung batu itu.

“Ayo kak, bangun,” ucap adikku mulai bingung tak tahu apa yang seharusnya dilakukan.

Aku berusaha bangkit, menarik kakiku untuk menjadikan lutut sebagai tumpuan agar aku bisa bangkit. Pelan pelan aku bisa berdiri. Ku lihat adikku ketakutan melihatku. Aku berusaha tenang agar tidak terjatuh.
Pelan pelan aku mulai berdiri dan melihat adikku yang mulai tampak lega.

Aku mampu menguasai diriku hingga berdiri tegak. Namun tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan. Kali ini aku terjatuh ke belakang tanpa siap apapun.

Byurrrr!!!

Aku terseret arus mencoba menggapai-gapaikan tanganku. Namun derasnya arus terus menyeretku. Di antara pergumulanku, masih ku lihat di atas batu besar adikku menangis sambil teriak-teriak memanggilku.

Tubuhku terombang-ambing, terseret arus dan menghantam batu berkali-kali.

***

Aku semakin lelah. Ku biarkan ke mana air akan membawaku pergi. Langit semakin gelap, gelap, hitam dan gelap.



bluePen, 815030503102


Penulis adalah pecinta sastra tinggal di Bojonegoro

----------------
*Ilustrasi karya Sarwo M Djantur
*Photo arms dok.Dimuat di : 
http://blokbojonegoro.com/read/article/20130505/batu-kali-dan-sepatu.html