Gethuk Mbok
Ndari
Oleh: Atho’ R.M Sasmito
( http://bluepen-arms.blogspot.com/2013/07/raih-dan-rengkuh-kesempatan-yang-ada.html )
( http://bluepen-arms.blogspot.com/2013/07/raih-dan-rengkuh-kesempatan-yang-ada.html )
#Jawa Pos, Radar Bojonegoro Minggu 15 September 2013 |
SUDAH Menjadi kebiasaanku sejak
masih duduk di kelas 2 SMP, pagi hari sarapan dengan gethuk, makanan terbuat
dari singkong rebus yang ditumbuk halus dan disajikan dengan parutan kelapa dan
sambal berupa serbuk, serta dibungkus daun pisang. Sampai sekarang aku duduk di
bangku kuliah semester 5 pun hampir setiap
pagi setia di tikungan jalan, menanti kedatangan Mbok Sundari atau yang biasa
dipanggil Mbok Ndari, penjual gethuk.
Entah kenapa sejak di bangku SMP itu
ku suka sarapan gethuk. Tak peduli teman-temanku menakut-nakutiku kalau otakku bisa
menjadi kempel seperti gethuk alias bodoh, karena setiap pagi sarapan
gethuk. Tapi aku tidak merasakan yang dikatakan teman-temanku, justru di dalam
kelas aku selalu masuk dalam peringkat 3 besar. Apa hubungannya kalau
kebanyakan makan gethuk , bisa membuat otak kayak gethuk alias bodoh?
Pagi ini aku masih menanti Mbok
Ndari di tikungan jalan desa. Kalau biasanya Mbok Ndari lewat pada sekitar
pukul enam, namun akhir-akhir ini sebelum mentari terbit ia sudah sampai
tikungan. Untungnya beberapa waktu yang lalu ketika selepas subuh aku jogging
keliling desa bertemu dengannya. Mbok Ndari mengatakan bahwa mulai saat itu ia
jualan lebih pagi dari biasanya.
“Iya Le, berangkat lebih
pagi. Pekerjaan di rumah banyak, setiap pagi bapak juga siap menyeberangkan
mbok, jadi pulangnya juga tidak terlalu siang, bisa menyelesaikan pekerjaan di
rumah,” terang Mbok Ndari kala itu, sambil memarutkan kelapa di atas gethuk
warna kuning yang sudah diiris-iriskannya di atas lembaran daun pisang.
Sejak saat itu Mbok Ndari selalu
lewat lebih pagi dari biasanya. Dan terpaksa aku juga harus rajin bangun pagi,
agar aku tetap bisa makan gethuk yang selalu aku nikmati dari dulu setiap pagi.
Tapi memang benar, sejak akhir-akhir ini aku menjadi lebih rajin. Bangun
menjelang waktu subuh, selesai subuh aku gunakan untuk jogging keliling
desa dan menanti Mbok Ndari di tikungan. Dari rutinitas pagiku itu, sepanjang
hari selalu aku lalui dan kerjakan dengan semangat. Selayaknya aku harus
berterima kasih kepada Mbok Ndari yang lewat lebih pagi.
Mbok Ndari sudah berjualan gethuk
sejak aku masih kecil. Ia pernah pangling denganku, lantaran dulu katanya waktu
ibuku masih hidup, sejak kecil ibu selalu menggendongku menunggunya lewat untuk
membeli gethuk, dan waktu kecil katanya aku paling suka gethuk yang banyak
parutan kelapanya. Bahkan aku dulu katanya juga merengek-rengek ketika dilarang
banyak makan parutan kelapa, karena ibu takut aku cacingan. Setelah ibu pergi,
tak pernah ada yang mengajakku membeli gethuk. Dan waktu di bangku SMP itu
kebetulan aku penasaran melihat wanita memakai jarik dan kemben seperti orang
Jawa asli, di atas kepalanya ada tampah yang tampak nempel walau tanpa
dipegangi, di atas pinggulnya ada keranjang yang terbuat dari anyaman bambu
berisi daun-daun pisang yang digulung. Keranjang itu digendong dengan kain
warna merah yang biasa digunakan untuk menggendong anak kecil, dan satu
tangannya dipakai untuk menjinjing tas yang terbuat dari anyaman daun pandan.
Ketika ia berjalan di sepanjang
desa, aku mengikutinya dan mengamati apa yang ia lakukan. Ketika ia menyadari
diikuti, akhirnya ia berhenti dan bertanya kepadaku. Dari situlah ia tahu bahwa
sejak kecil aku selalu digendong ibu membeli gethuknya, dan ia pun memberikan
gethuk kepadaku.
Kalau aku ingat-ingat masa itu,
kadang aku ingin tertawa sendiri. Rasa penasaran membuatku membuntuti Mbok
Ndari yang berjualan gethuk, hingga akhirnya aku diberi sebungkus gethuk yang
banyak parutan kelapa seperti waktu aku masih dalam gendongan.
Pagi ini kabut seperti menutup desa.
Di bawah lampu tepi jalan tikungan, aku masih menunggu Mbok Ndari. Rumah Mbok
Ndari berada di seberang desaku. Setiap hari ia harus menyeberangi Sungai
Bengawan Solo dengan dengan perahu suaminya yang biasa dipakai mencari ikan di
bengawan. Ia biasa berjualan di sepanjang jalan desaku. Pembeli paling banyak
biasanya dari petani yang juga berangkat ke sawah, setelah itu ia menuju ke SD
di desaku, tidak sampai tengah hari sudah habis ia langsung pulang, di bengawan
ia sudah dijemput suaminya untuk pulang. Tak bisa aku bayangkan jika aku
sendiri yang menjalaninya. Setiap pagi buta sudah menyeberang Bengawan Solo,
dingin dingin suasana pasti juga membuat merinding, apalagi aku juga paling
takut kalau naik perahu.
Di antara kabut pekat yang
membungkus pagi, sosok yang aku tunggu akhirnya tiba. Di bawah sinar lampu di
tikungan jalan desa, bayangan yang ada di dalam kabut mulai tampak jelas, Mbok
Ndari dengan tampah, keranjang juga tas bawaannya. Ia pun menurunkan barang
bawaannya seraya tersenyum kepadaku.
“Sudah lama le, nunggu Mbok
Ndari?” tanya Mbok Ndari sambil mengeluarkan parut kelapa dari tas dan juga
daun dari keranjang bambu.
“Lumayan Mbok, tumben agak lama baru
muncul Mbok?”
“Iya le, Mbok Ndari agak
kurang sehat, tadi bangun tidur badan rasanya kayak habis digebugi,
mungkin kecapekan” jawab Mbok Darmi sambil tersenyum. Aku pun membalas
senyumannya.
Memang pagi ini Mbok Ndari tidak
seperti biasanya, matanya sayu dan wajahnya agak pucat, namun tangannya masih
cekatan seperti biasa ketika mengiris gethuk di atas parut sebagai tatakannya.
Setelah getuk ia iris-iris dan
ditaruh di atas sobekan daun pisang, parut kelapa yang ia gunakan sebagai
tatakan ia tegakkan dengan tangan kiri, dan tangan kanannya dengan lincah
memarut kelapa yang sudah dibelah menjadi empat bagian yang biasa disebut
dengan cikalan. Kemudian hasil parutan kelapa itu ia taburkan di atas
irisan-irisan gethuk yang siap dibungkus dengan daun pisang itu. Sebelum
membungkus gethuk itu ia juga menaburkan sambal khusus gethuk, yaitu berupa
serbuk berwarna kuning kecokelatan seperti serbuk gergajian dari kayu. Gethuk
itu memang lebih enak jika dimakan dengan taburan sambal serbuk itu, karena
rasa sambal itu pedas, asin, manis serta gurih menjadi satu semakin membuat
membuat gethuk terasa lezat.
“Ini le, seperti biasa tow?”
tanya Mbok Ndari tersenyum seraya memberikan gethuk yang sudah dibungkus daun
pisang.
“Iya
Mbok, sudah tahu kebiasaanku gitu kok,” jawabku seraya tersenyum. Aku pun
menerima dan membayarnya.
“Sregep tenan le, setiap pagi
mesti sudah nungguin Mbok Ndari,” ujar Mbok Ndari sambil membereskan
barang-barangnya dan siap-siap melanjutkan perjalanan.
“Iya mbok, ya karena Mbok Ndari aku
jadi tambah rajin bangun pagi dan semangat menjalani waktu sepanjang hari,
terima kasih ya Mbok,” balasku dengan senyum.
“Iya le, sama-sama,” balasnya
juga tersenyum sambil menaikkan tampah di atas kepalanya.
“Oh ya mbok, kalau kurang sehat kok
masih dipaksakan jualan, bukan dipakai istirahat saja dulu tow mbok?”
“Kalau mbok istirahat, kamu nggak
sarapan gethuk nu le,” jawab Mbok Ndari dengan senyumannya yang khas.
“Ya nggak apa-apa mbok, paling
enggak jangan dipaksakan kalau mbok memang sakit, pakai istirahat dulu, kalau
sudah pulih kan bisa jualan lagi. Dari pada dipaksakan malah lama sembuhnya,”
“Iya le, nggak apa-apa, mbok sudah
biasa kok. Mbok duluan ya,” pamit Mbok Ndari siap melanjutkan perjalanan.
“Iya Mbok, terima kasih ya,”
“Iya le, sama-sama,” jawab Mbok
Ndari seraya melangkahkan kakinya.
Beberapa saat kemudian bayangan Mbok
Ndari sudah mulai menghilang di dalam pekatnya kabut pagi. Bungkusan gethuk
dari Mbok Ndari tadi aku buka dan mulai aku nikmati sarapanku pagi ini.
“Pagi-pagi sudah di tikungan,
sarapan apa mas?” tanya Mbak Nah yang lewat sambil menuntun sepeda.
Mbak Nah adalah seorang janda
tetangga desaku yang bekerja sebagai buruh tani, dan setiap selesai subuh ia
langsung berangkat untuk mencari nafkah menghidupi dua anaknya masih duduk di
bangku sekolah dasar.
“Ini mbak, sarapan gethuk Mbok
Ndari, tadi kebetulan baru saja lewat,”
“Mbok Ndari?” tanya Mbak Nah kaget
dan menghampiri aku.
“Iya, gethuk Mbok Ndari yang dari seberang bengawan solo
mbak,” jawabku masih menikmati gethuk yang tinggal beberapa iris.
“Astagfirullahhaladzim! Mbok Ndari
sudah meninggal dua minggu yang lalu bersama suaminya ketika nyebrang di
bengawan. Perahunya terbalik dan mereka tenggelam terseret arus bengawan yang
meluap!”
Kunyahan mulutku berhenti seketika.
Aku tidak berani merunduk dan melihat apa yang ada di tanganku.
Jika Mbok Ndari sudah meninggal dua
minggu yang lalu, jadi siapa yang setiap pagi buta mengiriskan gethuk,
memarutkan kelapa dan menaburkan sambal di atas gethuk dan memberikan kepadaku
di tikungan ini. Dan apa yang aku masukkan ke dalam perut melalui kunyahan
mulutku selama dua minggu ini??!!
Aku terdiam, tak berani bergerak,
sekalipun itu mataku. (arms)
(bluePen
2.08 am, 62703102)
#Tiga Per Empat Halaman |
selamat untuk karya yang telah dimuat.
ReplyDeletebtw, email radar bojonegoro apa?