WELCOME to the Dance Floor of bluePen - Let me be your ARmS to hug You with My ARtS

Pages

Friday, June 7, 2013

Batu Kali dan Sepatu

Batu Kali dan Sepatu
(Oleh: Atho' R.M Sasmito)
Dinginnya air kali terasa menyerang sekujur tubuhku, menusuk tulangku. Ku lihat, langit semakin gelap.

***

Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan dari desa seberang, menandakan waktu sudah pagi dan menjelang subuh. Desaku berbeda dengan desa seberang. Di sini tak ada yang memelihara ayam.

Semua seakan terasa ironi. Kami hidup di desa terpencil di tengah hutan yang berada di wilayah selatan kota. Keberadaan desa kami terasa begitu terkucil dari desa-desa lain, di mana di desa kami yang jauh dari kecamatan hanya terdapat tak lebih dari 15 rumah. Desa kami dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan tak ada akses yang memadai menuju desa-desa tetangga. Bahkan listrik pun belum bisa masuk ke desa kami.

“Ayo bangun nduk, sudah subuh, nanti terlambat berangkat ke sekolah lho,” suara ibu dari luar kamar, memaksaku membuka mata yang masih terasa berat.

“Inggih bu,” jawabku dengan malas.

Aku bangun dan duduk sambil menggeliat merentangkan kedua tanganku. Kulihat, adik perempuanku masih  lelap tidur di sampingku.

“Dik, bangun dik. Sudah subuh ayo bangun,” kedua tanganku menggoyang-goyangkan tubuhnya agar segera bangun.

Beberapa saat kemudian ia mulai menggeliat dan bangun dengan malas.

“Masih ngantuk Kak, tadi malam nggak bisa tidur banyak nyamuk,” jawab adikku dengan malas sambil mengucek-ucek matanya. Aku pun tersenyum.

“Ayo bangun dik, jangan malas-malas,” tuturku sambil tersenyum.

Kami pun beranjak dan membereskan tempat tidur, kemudian menuju sumur belakang rumah untuk wudlu dan mengerjakan salat subuh.

***

Ayo dik, cepetan, nanti terlambat lho,” seruku dari pintu depan menunggu adikku.

“Iya kak, sebentar, mencari kaos kaki dulu,” jawab adikku dari dalam.

Tak berapa lama adikku yang masih seragam putih merah muncul dengan menenteng sepatu bututnya.

“Ayo kak, kita berangkat,” ajaknya seraya tersenyum.
Aku pun mengangguk tersenyum melihat semangat adikku untuk menuntut ilmu. Kami berjalan sambil menenteng sepatu, menyusuri jalan desa yang becek karena hujan deras mengguyur desa kami semalam.

Di desa kami tidak ada sekolah. Jika ingin menuntut ilmu, kami harus pergi ke desa seberang, dengan berjalan keluar dari hutan, kemudian menyeberangi kali dengan cara melompat dari batu satu ke batu lain, yang menjadi tumpuan di atas kali dangkal dan deras oleh aliran air yang berasal dari atas bukit. Setelah itu kami harus berjalan melewati pematang sawah untuk mencapai jalan setapak, kemudian baru bisa memakai sepatu dan berjalan sejauh 2 kilometer untuk sampai di sekolah.

Tak mengherankan dengan akses yang begitu beratnya hanya ada enam orang dari desa kami yang mau menuntut ilmu di desa seberang, selain aku dan adikku adalah anak pak lurah dan pak RT yang mau sekolah dari banyaknya anak-anak yang masih seusia aku yang memakai seragam putih biru dan adikku di desa kami, itu pun juga karena kami memanfaatkan bea siswa yang diberikan oleh sekolah.

“Sini dik, kakak bawakan sepatunya. Ikuti kakak ya,” tuturku ketika sampai di tepi kali.

Perlahan aku mulai mencelupkan kaki ke air kali yang dingin, dengan tertatih aku berjalan sambi menggandeng tangan adikku di belakang. Beberapa langkah kemudian kami sampai di batu besar pertama. Setelah batu besar itu, batu-batu berikutnya ukurannya sedikit lebih kecil, dan jarak dari batu ke batu kurang lebih satu lebar langkahku, sehingga kami harus melompat untuk mencapai batu-batu itu.

Kami sampai di seberang kali. Kali ini muncul keisenganku. Aku berlari-lari kecil menggoda adikku di sepanjang pematang sawah. Ia mengejarku sambil teriak-teriak meminta sepatunya yang aku bawa.
Akhirnya kami sampai di jalan setapak menuju ke sekolah. Kami membersihkan kaki di irigasi yang berada di samping jalan, kemudian memakai sepatu dan siap melangkahkan kaki menuju ke sekolah.

Sekolah kami satu atap. Aku yang duduk di bangku kelas 2 SMP atau kelas 9, meninggalkan adikku kelas 4 yang kelasnya ada di depan.

***

Aku mengikuti pelajaran terakhir dengan gelisah. Dari jendela kelas, jauh kulihat mendung hitam menggantung di atas desaku. Langit di atas gedung sekolahku pun mulai gelap. Di luar aku lihat adikku sudah tak sabar menanti aku keluar.

Begitu bel berbunyi, aku bergegas keluar kelas dan menemui adikku. Kami berlarian sepanjang perjalanan, karena rintik-rintik hujan mulai turun.

Sepanjang pematang sawah aku dan adikku terus berlari dengan seragam kami yang sudah basah kuyup. Tak jarang kami terpeleset hingga kaki kami terperosok ke sawah. Kami terus berlari menuju kali yang memisahkan desa kami.

“Terlambat dik,” ucapku penuh sesal sambil menyibak rambut depanku yang basah menutupi wajah.

“Terus bagaimana kak, kita pulangnya?” tanya adikku mulai menangis.

Aku semakin bingung mendengar adikku menangis. Di depanku, kali dangkal yang tadi pagi masih menampakkan batu-batu besar, kini airnya mengalir sangat deras hingga batu-batu itu tampak permukaannya dialiri air.

“Tenang dik, tenang, jangan menangis lagi,” pintaku.
Adikku berhenti menangis, beberapa saat kemudian ia menatapku. Aku pun membalas tatapannya dengan senyum.

“Bagaimana kak kita pulangnya?” adikku mengulangi pertanyaannya.

“Sekarang gantian kamu yang membawa sepatu kakak ya,” pintaku seraya tersenyum.

“Maksudnya kak?”

“Kamu bawakan sepatu kakak, nanti kamu kakak gendong di punggung kakak, kita menyeberangi kali,” jelasku meyakinkan.

“Kakak yakin bisa melewati arus deras ini?”

“Yakin dik, percaya sama kakak,” jawabku mantap.

“Ya sudah kak, hati-hati ya,”

“Siap dik, ayo rangkul bahu kakak,”

Perlahan adikku meraih bahuku, dan aku mulai berdiri sambil mengangkat kedua paha adikku yang ada di di samping kiri dan kanan pinggangku.

Dengan hati-hati aku mulai melangkahkan kaki di kali yang airnya mengalir deras hingga mendapatkan batu pertama. Dengan hati-hati pula melanjutkan meraih batu berikutnya sambil menggendong adikku di belakang.

Hingga akhirnya kami sampai di batu besar terakhir. Aku menurunkan sejenak adikku dari punggung.

“Sebentar ya dik, kakak capek,” ucapku sambil bertolak pinggang merenggangkan otot badanku.

“Iya kak, tapi jangan lama-lama, adik takut,” rengek adikku ketakutan ketika kakinya berdiri di atas batu besar yang didera derasnya arus air yang mengalir.

“Iya dik, sebentar, tinggal beberapa meter lagi kita sampai kok,”

Aku menggeliat meluruskan punggungku. Oh Tuhan, kapan di atas kali ini ada jembatan. Keluhku dalam hati.
Belum puas aku meluruskan punggung, tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan. Kaki kanan yang ku jadikan tumpuan kuat, tak mampu menahan tubuhku.

“Kakak!!!”

Aku terjatuh di atas batu. Namun tanganku masih berpegangan erat di ujung batu itu.

“Ayo kak, bangun,” ucap adikku mulai bingung tak tahu apa yang seharusnya dilakukan.

Aku berusaha bangkit, menarik kakiku untuk menjadikan lutut sebagai tumpuan agar aku bisa bangkit. Pelan pelan aku bisa berdiri. Ku lihat adikku ketakutan melihatku. Aku berusaha tenang agar tidak terjatuh.
Pelan pelan aku mulai berdiri dan melihat adikku yang mulai tampak lega.

Aku mampu menguasai diriku hingga berdiri tegak. Namun tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan. Kali ini aku terjatuh ke belakang tanpa siap apapun.

Byurrrr!!!

Aku terseret arus mencoba menggapai-gapaikan tanganku. Namun derasnya arus terus menyeretku. Di antara pergumulanku, masih ku lihat di atas batu besar adikku menangis sambil teriak-teriak memanggilku.

Tubuhku terombang-ambing, terseret arus dan menghantam batu berkali-kali.

***

Aku semakin lelah. Ku biarkan ke mana air akan membawaku pergi. Langit semakin gelap, gelap, hitam dan gelap.



bluePen, 815030503102


Penulis adalah pecinta sastra tinggal di Bojonegoro

----------------
*Ilustrasi karya Sarwo M Djantur
*Photo arms dok.Dimuat di : 
http://blokbojonegoro.com/read/article/20130505/batu-kali-dan-sepatu.html

No comments:

Post a Comment